Dar Der Dor Maimun Maimunah
Oleh: Moh. Arif Rifqi
Urat-urat leherku terasa tumpang tindih dan berjalin kelidan tak beraturan satu sama lain. Mobil kecil yang kutumpangi terlalu kecil untuk tubuhku yang tinggi namun kurus kerempeng. Jalan berbatu terus memaksa leherku menari dengan paksa. Tidak peduli keringat ataupun amarah, semua sama-sama keluar dari pori-pori kulit dan hatiku. Sekeranjang ikan yang tidak laku jual dan agak membusuk menambah pengap suasana mobil. Ditambah lagi sopir dan keneknya terus saja mengepulkan asap rokok sambil memutar keras-keras musik yang mereka anggap keren, tapi bagiku gaduh. Tidak apalah, dari pada janjiku dengan Maimunah gagal, aku paksakan diri pengap-pengap ria menuju kesegaran luar-dalam lewat suara dan wajahnya.
Setelah melewati tikungan terakhir, mobil Carry tua yang kutumpangi berhenti di bawah pohon yang sangat besar. Kemudian, satu persatu dari penumpang turun sambil memberikan recehan lima ratus rupiah ke tangan kenek.
“Lima ratus…lima ratus…lima ratus” teriak Kenek dengan irama sumbang.
“Masih ingat sisa uang yang kemarin?” tanyaku.
“Sip bos !” jawabnya. Kemarin, aku membayar uang seribu rupiah. Tapi, kata kenek “entar kalau ikut mobil ini lagi gratis”. Apa mungkin tidak ada kembaliannya atau ada maksud-maksud lain, aku tidak mau tahu.
Kupandangi pantai dengan debur ombak yang berirama melankolis dan sebatang pohon yang mati di dekat pantai namun tampaknya masih cukup kuat untuk kupanjat. Aku menatap liar hampir keseluruh penjuru pantai. Tampak nelayan tua membawa sekeranjang ikan hasil tangkapannya kemudian mendekatiku.
“Nak, ikan ini masih segar. Enak lho kalau dipanggang dan dimakan di sana ” ujarnya sambil menunjuk hutan kecil yang tertata rapi membentuk terowongan dari ranting-ranting dan dedaunan sehingga sedikit menutupi sinar matahari untuk lansung menyinari tanah.
“Terimakasih kek. Saya kurang berselera pagi ini. Lain waktu saja”
Kulit wajah nelayan tua itu tampak semakin mengkerut. Dia meninggalkanku dengan langkah tertatih-tatih. Mungkin karena ikan-ikan yang dibawanya terlalu berat.
Jam di arlojiku menunjukkan setengah delapan kurang sepuluh menit. Sepulu menit lagi Maimunah akan menepati janjinya untuk bersua denganku untuk bersua di hutan kecil itu. Aku melangkahkan kakiku dengan wajah sumringah. Terasa berat kakiku melangkah diatas pasir, ditambah lagi mentari dhuha yang menyengat, membuat pori-pori kulitku utamanya di wajah dan leherku basah dengan keringat.
“Ca’ Maimun !”suara itu melengking dari arah yang kutuju. Namun tidak jelas suara siapa itu. Jangan-jangan Maimunah.
Tiba-tiba mataku tertuju pada sosok anggun berbaju cokelat dengan kulit hitam manis; Maimunah melambaikan tangannya. Aku memutuskan untuk mempercepat langkahku; melawan pasir dan terik.
“Hah… ah…hah, kamu sudah lama menungguku di sini ?“ tanyaku terengah-engah.
“Tidak juga Ca’” untaian kata singkatnya telah mebekukan aroma api yang kurasa membakarku sejak tadi.
“Bagaimana Ca’, sudah siap melamarku. Aku kemarin sudah bilang sama ayah bahwa kamu hari ini akan datang melamarku. Makanya ayah tadi pagi—agak kesiangan sih—sudah pulang kerumah”
“Tentu Maimunah” jawabku.
Maimunah mengajakku berjalan melewati jalan pintas menyusuri hutan kecil itu. Terowongan hijau nan indah dan kicau burung nan merdu seakan-akan sedang menjadi irama romantis perjalanan kami. Namun tiba-tiba…
“Auw! Ca’” tubuh Maimunah spontan melompat ke tubuhku dan memelukku. Kontan saja aku kaget.
“Ah si Maulu. Kamu takut ?” tanyaku sambil menatap matanya yang bening memancarkan kesejukan yang dibalut kekhawatiran. Kemudian melepaskan pelukannya.
“Maaf Ca’, mengagetkan Caca’ ” ucapnya malu.
“Tidak apa-apa, mari kita lanjutkan perjalanan. Barangkali calon mertuaku tidak sabar menanti menantunya” ucapku.
Maimunah tersipu malu. Rona wajah yang semula redup kini bersinar lagi membias lembut hatiku setelah melewati prisma asmara di mataku dan membentuk pelangi di hatiku.
***
“Be..be..begini pak, maksud kedatangan saya kesini ingin melamar Maimunah” kontan saja perasaan gugupku kambuh tidak seperti baisanya. Nelayan tua yang tawaranya ku tolak tadi adalah ayah Maimunah.
“Siapa…siapa nama kamu?” tanyanya cepat. Tetapi matanya berpaling dari pandanganku.“Kamu sudah punya pekerjaan?” lanjutnya cepat.
“Maimum. Belum, tapi sebentar lagi akan menjadi nelayan juga” ucapku malu.
“O, begitu semoga saja ikan-ikan hasil tangkapanmu nanti laris.”
Suasana menjadi hening. Calon mertuaku tidak bersuara. Sementara Maimunah tampak mengintip-ngintip di jendela kamarnya. Aku tidak berani berbicara lagi. Sejurus rasa sungkan, malu, gugup, bahagia dan sahaja teraduk menjadikan detak jantungku semakin kencang saja. Tiba-tiba…
Dar der dor! Keheningan berubah jadi cekam. Dar der dor suara tembakan di luar semakin ramai.
“Pertahankan lahan kita… pertahankan lahan kita…” suara itu bergemuruh dan membuat calon mertuaku sontak kaget. Dan…
“Sebagai syarat lamaranmu diterima, kamu harus membantu warga menggagalkan proyek bendungan dan mengusir komplotan berbaju loreng itu dari desa ini” katanya sambil berdiri.
“Maksud Bapak?” tanyaku berani.
“Gagalkan proyek mereka, usir mereka dari desa ini baru kamu dapat melamar Maimunah. Ayo cepat!” ajaknya sambil mengambil senjata berbentuk tanda tanya yang digantung di dinding.
Aku tidak punya pilihan lain. Segera aku berlari keluar rumah dengan calon mertuaku. Sementara waktu, aku tidak mau peduli Maimunah; biarkan dulu sebentar saja, aku akan menjemputnya selamanya setelah aku berhasil mengusir mereka. Aku dan mertuaku berpisah di bawah pohon besar tempat mobil Carry yang kutumpangi berhenti; mertuaku pergi kearah para penduduk, dan dia menyuruhku menyusup ke gerombolan manusia berbaju loreng itu. Dar der dor semakin gencar. Sejenak aku melihat ke arah penduduk, belasan di antara mereka yang berdiri ada yang memegang dada, perut dan kepala masing-masing dengan darah mulai menetes dari bagian tubuh yang mereka pegang. Mereka mengerang kesakitan.
Aku mengendap-endap di belakang manusia berbaju loreng itu. Postur tubuhku kurus kerempeng mempermudah aku bersembunyi di bawah semak-semak dan di balik pepohonan yang besar. Sebenarnya aku tidak paham betul maksud dari konflik ini. Tetapi demi cintaku pada Maimunah, insya Allah mantap!.
“Pak penduduk masih melawan. Mereka sudah banyak yang tewas”
“Bagus paksa mereka. Tanah itu sudah milik kita mutlak !” kontan saja percakapan salah satu di antara mereka lewat ORARI ketika itu membuatku kaget. Dan aku sedikit mengerti bahwa lahanlah yang jadi rebutan. Bangsat! Aparat macam apa mereka yang melukai penduduk hanya karena rebutan tanah. Kulemparkan batu hitam yang agak besar di dekatku kearahnya. “Akh !”dia mengerang sakit. Lemparanku mengenai lehernya dan sedikit menyerempet di kepalanya. Darah segar kulihat mulai bercucuran. Tubuhnya tiba-tiba rebah. Sementara anggota yang lain menuju kerumah-rumah penduduk; meninggalkannya sendirian. Aku ambil ORARI itu dan kubantingkan ke batu besar itu dan brak ! slikon, resistor dan tombol-tombol berhamburan.
“Hei kurang ajar kamu” suara itu mengagetkanku. Dan dor !
“Akh !” jelas kulihat selongsong peluru keluar dari senapan itu, sementara anak pelurunya menembus siku-siku tangan kananku darah kulihat mulai menetes dari siku kananku.
Pltek…pltek… Suara senapan si loreng yang tampaknya kehabisan peluru. Matanya terbelak memandangiku. Tanpa pikir panjang, senjata si loreng yang kurubuhkan tadi kuambil dan rasakan…Dar der dor, darah mengalir deras dari dadanya. Lima tembakan pas di dadanya dan satu tembakan pas di jidatnya menjadikanku sebagai pembunuh yang sadis. Kegirangan, aku pun berteriak “ha… ha… ha…”
Tidak ada lagi si loreng menghampiriku. Hutan kecil itu sepi seketika. Sementara isak tangis dan raungan semakin keras dari rumah penduduk, semakin dekat pula aku menuju rumah Maimunah. Aku melihat dinding rumah itu berlobang di sana-sini bekas tembakan peluru.
Maimunah! Aku segera menghampiri kamarnya. Kulihat tubuhnya terbujur kaku diatas lantai. Sementara pas di ulu hatinya tangannya terkulai bersimbah darah. Oh tidak. Matanya tiba-tiba bergerak dan aku segera merangkulnya. “Maimunah kamu masih hidup?”
“Ca’ Mai…Mai…mun, pergilah ke Alastlogo Pasuruan. Di sana ada saudari kembarku. Kawinlah dengannya, cintailah dia seperti kamu mencintaiku…”suaranya tersendat-sendat. Tetapi, senyumnya masih mampu menyihir kelenjar air mataku dan deras mengalir turut membasahi ulu hatinya.Oh tidak.
Dengan sisa energi cinta yang menggunung, aku dengan lantang berteriak “Madura akulah darahmu ”. Walaupun aku bukan orang Madura tulen, tapi darah yang memancar dari nadiku dan menetes dari venaku ditambah lagi darah Maimunah turut membasahi; mendarah di bumi Madura.
Mayat bergelimpangan di mana-mana. Suara dar der dor telah berubah menjadi raungan dan tangis. Sementara di sudut Sekolah Dasar di dekat rumah Maimunah ada seorang anak kecil nan lugu bersuara “Bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Pasal…pasal berapa ya? O ya, pasal 33 ayat…ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945…ha…hafal hore !”
Candi, 2005-2007