Friday, August 24, 2007

Resensi "Perpustakaan Ajaib"


Ketika Buku Bercerita Buku


Judul buku : Perpusatakaan Ajaib Bibbi Bokken

Penulis : Jostien Gaarder dan Klaus Hagerup

Penerbit : Mizan

Cetakan : III, Maret 2007

Tebal : 294 halaman

Peresensi : Moh. Arif Rifqi


Ketika buku membincang buku, berarti dunia baca-tulis mulai “membaca” dirinya sendiri dengan memberi ruang interpretasi tekstual yang lebih luas dan mendalam. Sehingga, otomatis karena upaya tersebut tidak bisa dipisahkan dari dimensi ghiroh kepenulisan dan histori yang melatar belakangi lahirnya karya tulis. Karena, pada dasarnya, dengan mencoba melakukan “introspeksi diri” (reinterpretasi), maka kejumudan membaca yang seringkali berakibat fatal pada lemahnya daya analisis analis teks.

Seperti yang dilakukan penulis novel Dunia Shopie, Jostien Gaarder yang berduet dengan penulis kawakan Norwegia, Klaus Hargerup membuat inovasi menarik di dunia novel melalui buah karya mereka yang membincang buku (perpustakaan) melalui sebuah novel. Cerita yang dimulai dari korespondensi dua saudara sepupu yang tinggal di dua kota yang berbeda, Nilss dan Berrit melalui buku-surat yang mereka saling kirimkan satu sama lain, dikemas dengan menarik dan penuh dengan misteri-misteri dan petualangan yang menggelitik adrenalin.

Pada mulanya korespondensi mereka hanya sebatas buah dari rangsangan Billie Holiday. Namun, konspirasi Bibbi Bokken yang mereka prediksi sedang memburu buku–surat mereka, membuat kedua sepupu bersaudara ini melakukan investigasi serius seraya bertindak sebagai “detektif cilik” untuk mengungkap misteri Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken.

Baik Nilss maupun Berrit pada mulanya tidak menyadari bahwa mereka menjadi pion-pion yang dikendalikan oleh Bibbi Bokken dan komplotannya. Namun, setelah mereka vis a vis langsung dengan Bibbi Bokken di Perpustakaan Ajaibnya, mereka baru mengetahui dan menyadari bahwa misteri Perpustakaan Ajaib yang mereka sangka sangat krusial ternyata lebih bertendensi pada kesempatan penuh yang memungkinkan buku-buku yang akan dan sedang ditulis, terbit—termasuk buku-surat mereka. Dalam beberapa abad mendatang, dari perpustakaan ajaib tersebut seganap fantasi yang terkumpulkan akan menjadi incunabula yang sangat berharga. Tentulah kata-kata akan dirangkai dengan cara lain, kalimat yang digunakan pasti tidak sama . Namun, segala yang terkumpul kemungkinan besar akan menjadi bahasa masa depan. Begitulah perpustakaan ajaib melahirkan bacaan baru. Keajaiban sejati dalam kehidupan kita (pun) terlahir sudah (hal. 245). karena memang ketika mereka berdua dibawa keruangan perpusatakaan ajaib oleh Bibbi Bokken, ruangan itu tidak lebih hanya rak-rak buku dan kertas-kertas berserakan. Bahkan, di ruangan itu mereka berdua menemukan sobekan kertas yang bertuliskan puisi yang mereka tulis di buku-surat mereka.

Petualangan mereka mengklimaks ketika salah satu anggota komplotan Bibbi Bokken ada yang tidak menyukai penerbitan buku–surat Nilss dan Berrit, Marcus ‘Similey’ Bouur Hansen. Dengan mengejawantahkan fantasi kreatif anak-anak yang kerap kali mengejutkan, mereka berusaha memupuskan harapan Similey.

Novel berlatar negri Norwegia dan sedikit menyinggung Italia ini, tampaknya lebih kental dengan gaya penulisan Jostien Gaarder melalui tokoh-tokoh mistrius seperti pada novel-novel sebelumnya yang serba misterius. Seperti kehadiran sosok Alberto Knox, Alberto Knax dan Hilde di kehidupan Shopie dalam novel Dunia Shopie atau tokoh gadis jeruk pada novel Gadis Jeruk (Orange Girl) . Sementara itu, nuansa petualangan kedua bocah dalam novel ini memberi ruang tersendiri bagin kreatifitas Klaus Hargerup yang memang kesehariannya banyak menulis buku-buku anak dan remaja.

Ketika membaca novel ini, pembaca seperti dibawa melihat satu kisah dengan dua “teropong” berbeda dalam waktu yang sama. Kedua penulis seolah–olah—atau memang—memegang dua tokoh sentral dan berlomba-lomba menulis “buku-surat” kemudian memadukannya secara harmonis. Sehingga, butuh ketelitian ekstra ketika membaca novel ini, utamanya pada bab kedua. Sebab pemisahan aku lirik antara Berrit dan Nils cukup sulit dibedakan; hanya dipisahakan oleh spasi ganda dan garis baru tidak berparagraf.

Disamping itu, gaya bahasa tulis Barat tidak sepenuhnya dapat disinkronkan dengan gaya bahasa tulis Indonesia oleh penerjemah. Sehingga, walaupun terkesan padat, kalimat-kalimatnya cukup sukar untuk dipahami oleh pembaca yang sebelumnya tidak pernah membaca novel sastra Barat terjemahan sama sekali.

Istimewanya, novel ini mempunyai makna dan kesan tersendiri di dunia baca-tulis. Sebab, disamping pembaca akan dibawa ke petulangan yang seru, pembaca juga diajak mengenal tokoh-tokoh legendaris di dunia baca-tulis Barat seperti Astrid Lindgren dan Annie Frank, hingga mengenal Dewey dan sistem DDC-nya (Decimal Dewey Clasification) yang bayak digunakan sebagai pedoman klasifikasi koleksi pustaka di berbagai perpustakaan se Dunia. Wajar apabila Ruhr Nachrit menyebut buku ini sebagi sebuah surat cinta kepada buku dan dunia penulisan. Karena, sejak revolusi terbesar sejarah budaya aksara dengan ditemukannya teknik movable type—teknik mencetak buku dengan huruf bongkar pasang yang terbuat dari timah hitam—oleh J. Gutenberg pada abad XV persebaran buku dengan jumlah yang besar-besaran menjadi salah satu faktor utama terbentuknya sebuah peradaban megah manusia yang juga disinggung pada novel ini. Masyarakat dunia tentu lebih memberi apresiasi lebih kepada intelektulisme Athena dari pada meliterisme Sparta. Sebab, Athena lebih mampu melahirkan buku dari pada senjata tajam Sparta—walaupun temponya jauh dari masa Gutenberg, tetapi masyarakat dunia lebih menyadari signifikansi buku dari pada senjata.

Sayangnya, kedua penulis ini tampaknya masih menganggap perpustakaan hanya sebatas koleksi buku saja. Padahal, saat ini sudah banyak perpustakaan yang tidak hanya mengoleksi buku saja. Walau bagaimanapun, novel ini cukup inovatif-informatif dan kreatif untuk dibaca siapa saja khususnya remaja untuk (semakin) mencintai dunia baca-tulis. “Intrikasi teks” pada novel ini seyogyanya menjadi pemantik semangat baru untuk meningkatkan insting penjelajah pembaca yang tentunya sangat bermanfaat untuk menaklukkan dan mengendalikan teks. Filosof postmodernis asal Jacques Derrida menyebutnya sebagai teori metafisika-kehadiran.





Moh. Arif Rifqi adalah pencinta dan pemerhati buku yang sedang mengasuh Taman Baca Al-Jailani tinggal di Sumenep