Thursday, October 25, 2007

Artikel Sastra

HISTORI NOVEL SASTRA
DAN ANTISIPASI TERHADAP PENELANAN-MENTAH NILAI INSTIRISIKNYA

Oleh:
Mohammad Arif Rifqi


Pendahuluan

Eksistensi novel sastra di dunia baca-tulis lebih memiliki signifikansi dan pengaruh dibandingkan buku-buku ilmiah. Hal tersebut tidak lepas dari daya tarik novel sastra itu sendiri, kegemaran dan kualitas pemahaman pembaca. Memang, di bandingkan buku-buku ilmiah, novel sastra lebih banyak di gemari. Bisa di katakan buku-buku yang berpridikat best seller lebih banyak novel sastra di bandingkan buku-buku ilmiah ; Walaupun sama-sama mendapat predikat best saller, tetapi secara kuantitas selisih keduanya cukup jauh.
Histori Singkat
Di Indonesia sering kali kabur untuk menyebut karya prosa yang wujudnya sama. yaitu istilah roman dan novel. Hal ini berawal dari dua pandangan yang berbeda. Pandangan pertama, yang membedakan istilah tersebut. Menurut mereka roman mengisahkan tokoh sejak lahir sampai meninggal. Sedangkan novel, hanya mengisahkan tentang sebagian tokoh yang nasibnya mengalami perubahan.
Pendapat kedua, menyamakan kedua istilah tersebut. Sehingga mereka menggunakan kedua istilah tersebut untuk karya sastra yang sama. Maka wajar, apabila sayembar menulis roman yang di selenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) selalu di menangkan oleh karya sastra berupa novel .
Secara historis, awal mula munculnya kata novel ialah pada massa renaissance (abad ke14 sampai abad 17), yaitu ketika penulis Italia bernama Giovani Boccacio menggunakan istilah novella untuk narasi pendek di II pecca merone, yaitu kumpulan seratus cerita yang bagus dan cerdas yang di set dalam satu bingkai cerita. Setelah ceritanya di terjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kata novel diserap menjadi istilah bahasa Inggis. Namun kata novella dalam bahasa Inggris akhir-akhir ini merujuk pada novel pendek lebih dikenal dengan istilah novelet.
Dari sudut pandang lain, novel kembali terbagi menjadi dua jenis berdasarkan gaya cerita yang disajikan. Yaitu novel Teenlit atau Chiklit dan novel sastra. Ada beberapa kalangan yang mengganggap novel sejenis Teenlit atau Chiklit dapat mengganggu stabilitas gramatologi bahasa Indonesia seperti sinyalmen bahwa penulis novel serial Lupus, Hilman Hariwijaya telah “merusak” tata bahasa Indonesia dengan gaya bahasa yang cendrung seenaknya. Tetapi, kemudian, NH. Dini, pengarang ternama, membelanya dengan argumen bahwa meskipun gaya bahasanya cuek, Hilman tetap menjaga gaya bahasa .
Disamping itu, novel sastra yang lebih cendrung membicarakan masalah-masalah HAM, keadilan, kesetaraan gender, budaya dan religiusitas lebih di anak emaskan sebagai karya yang lebih mendidik. Tapi, lain halnya dengan pelarangan terhadap novel –novel Pramudya Ananta Toer pada masa orde baru, karena dituduh sebagai buku yang mengandung ajaran-ajaran komunisme tanpa alasan yang konkret, tetapi gap-gap tersebut sudah mulai hilang.
Pengaruh Terhadap Konstruksi Mental Pembaca
Masalah daya konstuksi mental novel sastra lebih berpengaruh. Karena melalui cerita, suatu amanah yang terkandung akan lebih mudah menyerap dan menyentuh ke sanubari pembaca. Dengan gaya bahasa sastrawi dan unsur instrinsik yang lebih diprioritaskan, maka novel sastra lebih dianakemaskan dari pada novel Teenlit atau Chiklit dengan unsur ekstrinsik yang lebih di prioritaskan. Tetapi, ini bukan konsep diskriminasi atau dikatomi yang di besar-besarkan, justru seperti apa yang di ungkapkan dalam al-Qura’an bahwa perbedaan adalah rahmat.
Di dunia kesusastraan Islam, novel sastra sangat di sambut antusias. Seperti munculnya sosok novelis science fiction Mustafa Mahmud, Naqib Mahfudz, novelis muda, Habiburrahman El-Shirazi, Muhammad Iqbal dan tokoh novelis lainnya . Semangat sastrawan islam tidak lepas dari pemahaman mereka bahwa al-Qur’an adalah sastra terbaik sepanjang masa. yang di dalamnya terdapat kisah-kisah yang penuh dengan hikmah bahkan terbaik. Marmaduke Pickthall mendiskripsikan al-Qur’an sebagai simfoni yang tak terelakkan yang menggerakkan manusia menuju kebahagiaan dan air mata. Semantara, menurut Thomas Carlyle al-Qur’an adalah tulisan paling rumit dan membingungkan yang pernah dia baca—hanya kewajiban yang mampu membuat orang-orang Eropa membacanya.
Bagaimana mungkin dunia cendikaiwan dengan latar belakang sama tapi menghasilkan dua pendapat yang berbeda. Jawabannya sedarhana, Picktall mampu berbahasa arab sedangka Carlyle tidak .
Walaupun apa yag kita baca tidak seratus persen dapat kita tangkap dan kita cerna. Tetapi, pengaruh membaca terhadap proses konstruksi mental individu tidak dapat ragukan lagi sinifikansinya. Orang yang sering membaca novel sastra tentu akan berbeda dengan seorang yang sehari-harinya akrab dengan buku atau persoalan eksasta ketika di harapkan pada masalah yang sama. Contoh kongkrit lainnya, di dunia politik, putusan-putusan dan kebijakan-kebijakan yang keluar dari parpol yang berasas islam dan parpol yang berasaskan pancasila. Salah satu penyebabnya adalah buku-buku yang mereka baca tentunya tidak sama.
Imaji yang terangkat dari karya sastra selalu merupakan gambaran utuh sebuah gagasan besar. Tidak terkecuali novel sastra. Dalam banyak hal kehadiran novel sastra bisa di sejajarkan dengan epos yang pada umumnya lahir dari konteks sejarah suatu lokal atau komonitas tertentu. Mungkin perbedaannya hanya terletak dalam bentuk dan gaya ekpresinya saja.
Novel sastra khususnya hanya bergerak dalam suatu lokalitas yang terbatas, partikular , namun representasinya sangat menentukan gagasan yang di usungnya. Dalam novel sastra, gagasan tersebut dimanifestasikan dalam sebuah “konflik abadi” antara si narator dengan tokoh yang di angkat. Menurut Bakhtin, ada “pluralitas dialogois” yang berlangsung diantara celah-celah narasi tekstual .
Signifikansi imajinasi dalan novel sangat penting. Setidaknya, karena ia juga menghadirkan fakta yang tersembunyi di balik ruang tekstual . Nuansa keindahan sebuh novel sastra juga memberi nuansa kebenaran; mengajaknya untuk bergulat dalam ruang dan waktu tempat eksistensi dan esensi manusia ada. Thomas Aquinas berkata bahwa, kebenaran dan keidahan tidak dapat di pisahkan, pulchrum est splendor veritatis. Bentuk dan ekspresi keindahan itu sendiri dapat melalui makna dan perlambangan (sinn und bedeuntung). Dan disinilah juga letak signifikansi novel sastra sebagai penyalur pesan nilai-nilai kebenaran yang dipadukan dengan nilai estetika yang sama-sama mendukung “adaptasi” dan “absorpasi” nilai-nilai dasar intern teks, seperti apa yang dimaksudkan Dewi Lestari (Dee) pada pengantar Novel Serialnya Supernova .
Dengan demikian, pengaruh novel sastra dalam pembentukan mental pembaca mempunyai “titik klimaks” ketika konflik antara pembaca dengan novel sastra berada pada kondisi adolesence. Sehingga, untuk novel sejenis Kabar Buruk dari Langit; Luka Cinta Pencari Tuhan dan Adam Hawa; Hawa bukan Wanita Pertama karya Muhidin M. Dahlan atau novel liar dan “sekuler” lain-lainnya patut kembali disaring dan diperhatikan; dimana sejatinya posisi pembaca ketika kekaburan imaji dengan kebiasaan menelan mentah-mentah amanat yang tidak terbendung ketika membaca novel sastra. Wallahua’lambisshawab.





Daftar Pustaka
Kritzeck, James. 2003. Simphoni Surga; Avant Grade Sastra Islam. Yogyakarta; Kota Kembang
Fajri, Dian Yasmina, dkk. 2004. Buku Sakti Menulis Fiksi. Jakarta: PT. Kamus Bina Tazkia
Kerraf, Gorys. 2000. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Namah, Jawid. 2003. Kitab Keabadian oleh Muhammad Iqbal. Jakarta: PT. Dunia Jaya Pustaka.
Dee. 2005. Supernova Episode Petir. Jakarta: Akur.
Dahlan, Muhidin M. 2004. Kabar Buruk dari Langit; Luka Cinta Pencari Tuhan. Yogyakarta. Screptamanent.
________________. 2005. Adam Hawa; Hawa Bukan Wanita Pertama. Yogyakarta. Screptamanent.
www. cybersastra.net/ essay/ mohammad al-fayyad
Majalah Bibliophile. Bandung, edisi Maret 2000

No comments: