Wednesday, May 9, 2007

Cerita Bahari

Bantal Ombak

Oleh: Moh. Arif Rifqi


Seperti misteri subuh
Engkau menapaki renta gemuruh
Melukis aura di keramaian yang kuanggap sepi; sunyi
Menikam kemurtadan dan mempertanyakan, siapa yang telah mengajariku nakal?


Bahari, Begitu aku lebih mengenalmu laut, dari pada nama-nama yang orang lain sandangkan kepadamu. Luasmu mengingatkanku akan luasnya sebuah persahabatan antara manusia tempat kesatu dan manusia tempat ketiga. Persahabatan yang luas, bening-kebiruan, jujur, eksplosif dan supel.

Sejujurnya, tidak ada keraguan dan rasa canggung yang aku tampakkan, murni dan jujur bersumber dari nuraniku yang terdasar. Hanya saja, gontai dan gemulai sebuah tatanan yang memisahkan, membuatku gagap, gugup, dan selalu salah tingkah di depan kalian. Dengan arif, kalian menganggapnya sebagai metamorfosa di luar musim.

Zeitgist bahari yang kini menginfiltrasi dan menciptakan intrikasi yang kompleks di dadaku, membuatku selalu meratapi setiap perbuatan baikku dan menertawakan setiap dosaku. Aku tidak bermaksud merubah dan membalikkan realitas lazim di dunia ini—itupun kalau ada. Aku hanya mencoba mengaplikasikan setahap demi setahap sebuah hadits qudsi yang di riwayatkan sang Karomahuwajhah,

Siapa yang mencari Aku akan menemukan Aku. Siapa yang menemukan Aku akan mengenal Aku. Siapa yang mengenal Aku akan mencitai Aku. Siapa yang mencintai Aku akan Aku bunuh. Siapa yang Aku bunuh akan Aku bangkitkan. Siapa yang Aku bangkitkan Aku sendirilah kebangkitannya***

Internet Explore, http://mail.telkom.net, kacang_sukro,*******,Go
Di kotak Inbox ada email berbintang terang, dengan dari judden@yahoo.co.id, subject Hai Kacang Sukro, klik kanan, open


Assalamu’alaikum Kacang Sukro
Apa kabar nih ?sudah lama tidak kelihatan batang hidungnya?
Sakit ya? Semoga saja Tidak.
Aku sekarang jarang beli kacang sukro lagi
Habis setelah makan kacang sukro, gigiku sakit
‘n kami W9 kangen sama kalian disitu (totem proparte)
Wassalam

“Mas yang di PC 3, waktu anda sudah habis, ada yang mau ganti” operator memperingatiku.

Setelah kubayar uang sewa rental internet, akupun bergegas meninggalkan warnet. Aku baru ingat bahwa aku punya janji dengan Ummi. Aku masih harus kerumah paman di pulau sebelah, mengantarkan bingkisan kue dari Pak Isun, guru sekaligus sahabat curhatku.
“Ayies, aku juga kangen sama kalian (totem proparte-nya). Aku tidak akan membalas emailmu. Tapi, aku akan langsung menemuimu dengan Ummiku. Suatu saat nanti, pasti aku usahakan”Celetuk hatiku.

Setelah iqomah dibacakan di surau dekat tempat aku berjalan, aku menghampirinya dan salat Ashar berjamaah di sana. Kemudian aku melanjutkan perjalanan ke rumah Paman. Melewati bahari kemilau nan biru, aku semakan teringat kalian.

***


Hari Berikutnya...
Mentari pagi menerobos liar di teras ungu jendela kamarku. Jarum jam berdetak sendu dan teratur memutar perjalanan sang waktu sedikit demi sedikit; sabar. O, taman, laut nan permai. Temani kesegaran fikiranku pagi ini dengan segelas susu yang di sajikan Ummi di meja kecil di kamarku.

Astaga ! scrensever bergambar Paman Gober ternyata masih menghiasi layar komputerku. Apakah tadi malam aku lupa mematikannya, atau Afifah, adik kecilku tadi pagi main game saat aku maih tertidur pulas dan sengaja tidak mematikannya, atau juga Ummi tadi pagi meminjam untuk mengambil data rekapitulasi keuanggan PKK yang tadi malam kuketik, atau... Tidak tau pastilah aku. Semoga ini bukan kesalahan yang samar.
Tersisa belasan ATP, energi di tubuhku mencoba melangkahkan kaki menuju komputer pribadiku dan aku menemukan sebuah daun kering bertuliskan instruksi buka Windows Explore, Power Point File, Ayies, open, dan slide show. Penting !

“Sepertinya aku kenal tulisan ini” ucapku lirih “aku kenal tulisan ini di tempat jauh, tapi di mana?”aku mencoba acuh tak acuh.

Setelah kulakukan perintah seperti yang di instruksikan, kemudian...

Klik!, suara mouse kutekan

Selamat pagi kacang Sukro
Semalam aku mencoba menghubungi nomer Hpmu, tapi tidak aktif. Degan indra yang patang kuceritakan sistem kerjanya,aku menulis ini jujur dengan rasa rindu yang tersisa dari kekesalan

Barang kali belum begitu ikhlas membantuku menghajarmu tadi malam. Tapi, dengan keringat yang tersisa di pori-pori kulitku, aku tahu bahwa kamu sedang pulas dengan Melly, kucing loyalmu

Kacang sukro,

Aku ingin ketemu kamu; kalian totem proparte-nya.


Dengan template blends dan slide animation neotron, tulisan dengan fase slide dua detik itu terpresentrasi dan sementara ini kuanggap aneh; melayang-untai hingga aku tekan tombol Esc pada keyboardku untuk kembali kebentuk semula. Maksud dia apa?
“Hafid, ada telepon dari Alif. Penting katanya.” Tiba-tiba, tanda tanyaku runtuh. Suara ummi mengalun sendu dari ruangan tengah.

“tunggu ‘Mi” jawabku seraya secepat mungkin aku keluar dari kamar dan sesopan mungkin aku meraih gagang telepon yang ibu sulurkan kepadaku.

“ada apa ‘Lif...?” tanyaku ketus.

“gawat ‘Fid...gawat. Kamu harus kesekolah sekarang” senggal-senggal nafas Alif begitu jelas mengotori suaranya di telepon.

“tenang kok tidak ada apa-apa. Tunggu aku lima belas menit lagi di sekolah”
“eh! ‘nggak nyambung nih orang. Ini benar-benar gawat ‘Fid!”

“aku ngerti ‘Lif. Kamu tidak jelas gawatnya apaan. Jadi, wajarkan kalau aku juga tidak jelas tenangnya apaan. Sudah, tunggu saja, aku segera kesana lima belas menit lagi”

“ ‘Fid, segerombolan anak muda mencarimu sambil membawa pentungan dan godam. Mereka ada di depan sekolah sekarang; menunggu kedatanganmu. Tapi, tampaknya mereka siap-siap menuju kerumah kamu sekarang.”

Brak! Telepon serentak aku tutup. Aku berlari keluar dari rumah dengan sisa rapi dandanan dan energiku, aku menengok ke arah sekolah. Tidak jauh, sekitar 300 meter dari rumahku. Tampak jelas monster putih abu-abu itu sedang berjalan ke arahku. Gawat!

Entah energi apa yang aku pakai. Selemah ini aku masih sanggup berlari cepat ke arah mereka. Aku tidak mau mereka ribut di rumah atau di sekolahku. Akhirnya...
“tunggu! Kalian mencari aku? Kesini!” aku membawa mereka ke padang sawah yang penuh dengan tanaman padi yang hampir panen, sekitar 200 meter dari rumahku dan 100 meter dari sekolahku. Mudah-mudahan cukup jauh.

“kamu yang bernama Sukran Hafidy?” tanya seorang yang jangkung di antara mereka bertiga.

“benar!”kulihat salah satu dari mereka yang bertubuh panter mengayun-ayunkan godam; seram.

“kami datang kesini ingin membawa pulang Ayies. Dia kabur dari tempat ketiga dan kami memprediksi dia pergi ke rumahmu. Kami tahu banyak tentang kamu dari diary pink yang tertinggal di kamarnya. Dia menulis banyak tentang perasaannya kepadamu.
Otomatis, disana kami tahu banyak tentang kamu. Termasuk foto, alamat rumah dan sekolahmu. Walaupun kami beda dimensi, demi kami ketundukan kami kepada tuan Ali, ayah Ayies, kami susah payah datang kesini.

Kami harap kedatangan kami tidak berbuah kesia-siaan. Sebab, kalau tidak, eksistensi dan esensi kami akan di cabut, dan kami kembali menjadi gipsi-gipsi”. Di luar dugaanku sebelumnya, kegarangan yang mereka tampakkan dari jauh, ternyata tak lain terdapat ketidakberdayaan di bawah otoritas dan ortodoksi musuh lamaku, Ali.
“Aku mengerti maksud, perasaan dan posisi kalian saat ini. Akan tetapi, perlu kalian ketahui...” aku pun menceritakan kejadian pagi itu di komputerku. “...aku harap kalian juga menghargaiku. Silakan kalian gunakan indra ke-enam kalian untuk meneropong isi hatiku. Semoga kalian berhasil dan kalain akan tahu bahwa aku jujur”.
Mereka terdiam. Angin tornado kecil-kecilan melibas tanaman padi yang hampir panen. Tiba-tiba langit mendung, petir bergemuruh, tanah yang kupijak bergetar semakin dahsyat, dan angin itu semakan ganas pula. Mereka memegang telinga dan mengerang kesakitan. Namun, mereka tidak roboh. Apakah karena mereka tidak dirobohkan biar semakin tersiksa oleh gelombang metasonik, atau mereka masih cukup kuat menahannya.
“Zslzmn kzlo, kllzmkn; kbnouym!” barangkali seperti itu suara yang dapat telingaku tangkap dari mulut mereka.

Tiba-tiba tubuhku yang juga ikut terguncang hampir kehilangan keseimbangan. Andai saja eksperimenku untuk menemukan anti gravitasi berhasil, goncangan ini tidak akan berarti. Aku mencoba semadi dengan sisa energiku; gontai. Langit menyempit; merendah. Pandanganku sesak oleh kabut-kabut. Aura yang kupancarkan tidak cukup untuk menerangi sekitarku.

Kakiku bergetar dan bergerak melebar kesamping. Pertanda, tanah yang kuinjak membelah dengan pelan-pelan. Kalau sampai aku bersuara, maka aku kalah. Gemuruh petir juga semakin dahsyat membuat telingaku sesak. Kelebat-kelebat sosok hitam mengitariku; mesterius seperti ninja. Mereka malang-melintang liar di samping, di atas, dan di bawah tubuhku yang terbuka. Mareka seolah-olah membisikkan daftar kesalahanku sedetail mungkin. Aku mencoba membantah dengan bahasa batinku. Namun aku tiba lemah ketika mantra andalanku “selalu tanda tanya, tidak pernah tanda seru” takluk pada mantra mereka “selalu koma, tidak pernah titik” tidak tidak mampu berbuat banyak. Dan...

Aku sadar tubuhku sudah terbelah empat. Plesetku, untuk tempat kesatu, satu belahan dan tiga belahan untuk tempat ketiga. Benarkah?
Gelombang laut nan besar membentuk tiga gundukan yang beranak-pinak menjadi sembilan dan satu gundukan besar yang beranak tiga; menimbulkan suara yang khas. Untuk semuanya, ma’afkan ku. “Akh! Siapa yang telah mengajariku nakal?" suara terakhirku. Dan gelap!


Mulya Nusantara, Kamal, 2007

No comments: