JAKARTA, SELASA - Indonesia mengajukan satu lagi usulan menambah cagar biosfer kepada Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan atau Unesco. Hingga tahun 1988, Indonesia memiliki enam cagar biosfer yang tersebar di beberapa provinsi.
Usulan cagar biosfer (CB) yang diajukan ke Unesco itu akan diberi nama CB Giam Siak Bukit Batu di Kabupaten Bengkalis dan Siak, Provinsi Riau. ”Tinggal menunggu keputusan Unesco,” kata Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Endang Sukara di Jakarta, Senin (20/10).
Keenam CB yang sudah ada, yaitu CB Cibodas (zona inti meliputi Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango sejak tahun 1977), CB Tanjung Puting (zona inti TN Tanjung Puting, 1977), CB Lore Lindu (zona inti TN Lore Lindu, 1977), CB Komodo (zona inti TN Komodo, 1977), CB Gunung Leuser (zona inti TN Gunung Leuser, 1981), dan CB Pulau Siberut (zona inti TN Siberut, 1981).
Sejauh ini, ada perbedaan antara CB yang diusulkan dengan yang eksis. Usulan CB di Riau berzona inti pada kawasan konsesi hutan tanaman industri (HTI) ”milik” empat perusahaan di bawah Sinar Mas Forestry seluas 72.255 hektar.
Sementara itu, zona inti enam CB lainnya merupakan taman nasional. Fakta itu menimbulkan persoalan, karena Departemen Kehutanan berpendapat statusnya harus diubah dulu menjadi taman nasional.
”Sebenarnya tidak harus diubah. Cagar biosfer itu merupakan konsep penanganan, bukan kawasan dan statusnya,” kata Endang Sukara.
Program Konservasi Sinar Mas Forestry, Haris Surono, menyatakan, pihaknya berharap status zona inti calon CB Giam Siak Bukit Batu tetap HTI. Perubahan status lainnya dikhawatirkan akan membuat kaku penanganan.
Kondisi alam
Secara geografis, kondisi alam calon CB Giam Siak Bukit Batu merupakan hutan gambut dataran rendah dengan beberapa danau alam. Kawasan itu diapit Suaka Margasatwa Bukit Batu dan Giam Siak Kecil, yang sebelumnya akan diperuntukkan sebagai kawasan konservasi empat perusahaan pemegang konsesi.
Secara alami, lahan gambut merupakan kawasan penyimpan karbon dan air. Alih fungsi lahan akan memaparkan emisi dalam skala besar dan dapat mengganggu jasa lingkungan. ”Atas beberapa pertimbangan, kawasan itu kami putuskan sebagai kawasan konservasi,” kata Haris.
Diakui dia, ada agenda perdagangan karbon dengan menjadikan kawasan tersebut seba- gai kawasan konservasi. ”Jadi, konservasi juga untuk bisnis, bukan hanya konservasi saja,” tuturnya.
Menurut Endang, terlepas dari rencana perdagangan karbon, keputusan menjadikan zona inti cagar biosfer akan mewujudkan koridor alam satwa di kawasan Giam Siak Kecil dan Bukit Batu, di Provinsi Riau.
Fungsi cagar biosfer
Sesuai kesepakatan Unesco, selain untuk konservasi alam dan budaya, cagar biosfer merupakan model mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Keberadaannya bukan mengarah pada status kawasan, tetapi konsep penanganan sehingga di antaranya ada stasiun riset.
Cagar biosfer memiliki tiga zona, yakni zona inti, zona penyangga, dan zona transisi. Zona inti untuk konservasi sumber daya alam, pemantauan ekosistem, dan penelitian. Zona penyangga untuk kegiatan kerja sama yang tidak bertentangan dengan fungsi ekologis, sedangkan zona transisi tempat berbagai kegiatan pertanian, pemukiman, dan lainnya.
Di Indonesia, seluruh kawasan taman nasional merupakan zona inti CB, yang bisa dimanfaatkan berdasarkan rekomendasi otoritas penelitian.
No comments:
Post a Comment