Monday, April 23, 2007

Cerpen



tulisan ini pernah dimuat di Radar Madura Minggu ke-2 Bulan Februari 2007





Cerita Bangku




Oleh: Moh. Arif Rifqi*



Siapa bilang sekolah itu adalah satu-satunya media pendidikan. Aku rasa sekolah hanya satu dari seribu cara mencari dan menemukan secuil hakikat hidup, itu pun kalau berhasil. Yah, walaupun sebenarnya itu tak akan mampu kuraih hakikat finalnya. Tapi aku yakin ia ada. Karena aku selalu merasakannya. Ia ada diantara ada dan tiada. Jujur, aku merasakannya pada indra yang tak pernah kumiliki sebelumnya.
Ayahku kemarin memperparah memar di betisku. Seperti biasa, duduk santai di tepi sungai Kalimas sambil membaca buku—kebetulan judulnya The Davinci Code yang rada tebal—pada jam sekolah. Air terjun nan deras, sejuknya hawa pagi, sesejuk hatiku mengikuti petualangan hidup sang maestro, sangat kusayangkan, ketika harus tertukar paksa dengan ambisi dan marah Ayah.
Plas!
“Buat apa kamu disini! Sekarang kan jam sekolah, sekolah itu penting, dari pada kamu duduk santai di tempat ini. Ingat! Ijazah SMA yang akan kamu peroleh tiga bulan lagi akan sangat menentukan jenis pekerjaan apa yang akan kamu peroleh. Kamu harus fokus kesana” begitulah kalau Ayah sedang berceramah, sok pedadog.
“Leh! Kata Ustadz di surau, kita sekolah tidak boleh untuk cari ijazah palagi pekerjaan? Baru tadi malam kan beliau bertutur demikan?”balasku.
Ayah tak lagi banyak bicara. Ia menyeretku dangan seperti kambing mangkel. Itu artinya aku tidak boleh bicara lagi. Cukup satu pukulan. Untung saja aku bisa secepat kilat membereskan buku-bukuku yang semula berserakan di tepi sungai. Kata guru PPKNku ini termasuk hal yang sadis. Tetapi, aku selalu menggap hal ini biasa. Termasuk waktu itu. Yah biasa!
Pemberontakan semacam itu terlalu sering kulakukan. Dua bulan yang lalu, masih segar dipikiranku, aku mempermalukan guru PPKN di kelas karena perbedaan pendapat yang kecil yang dibesar-besarkan oleh mereka, dan besar tapi di sepele bagiku. Bisa kalian bilang aku iseng-iseng menggugat penggunaan sitem pemerintah demokrasi di Indonesia pasca reformasi.
“Kamu ini bagaimana sih? Sebagai rakyat Indonesia kamu menolak penggunaan sistem demokrasi yang telah jelas-jelas akan membawa kemajuan bagi bangsa yang menganutnya, seperti Amerika Serikat dan negara-negara maju lannya. Kekuatan apa yang kamu punya sehingga mau menggoyang establisment demokrasi di Indonesia? Kalau kamu ketahuan polisi, kamu bisa ditangkap!” Guruku agak marah.
“Terima kasih ‘Pak atas informasi dan pertanyaannya. Semestinya Bapak bisa merenungi jawaban saya yang barangkali tidak bisa membuat bapak puas. Memang benar kalau sistem pemerintahan demokrasi itu sangat baik dan akan membawa sebuah negara yang menganutnya pada bangsa yang gemah ripah lokh jenawi, taremtem kerto raharjo.
“Akan tetapi ada hal kecil yang selalu diabaikan oleh para aktor di tingkat atas, terkait dengan disintegralisasi antara kualitas pemahaman makna demokrasi golongan atas dengan golongan bawah. Sehingga aplikasi sistem perintahan di indonesia sama sekali tidak harmonis. Menyinggung pepatah Barat yang mengatakan ‘Corruptio optimi de pessima’, kesalahan kecil dari yang terbaik adalah kesalahan yang sangat besar.
“Sistem yang Kenedey sebut sebagi ‘from the people, by the people, for the people’ ini belum siap diaplikasikan di Indonesia. Kalau dipaksa-paksakan hasilnya seperti kasus-kasus yang sangat memalukan Indonesia saat ini. Dan saya pikir itu disebabkan oleh ketidak-bhinneka tunggal ika-an mental yang dimiliki oleh sebagian elemen penting bangsa Indonesia. Salah satu contohnya, pada pemilu kemarin, rakyat kecil beralasan memilih pasangan presiden berdasarkan kecakepan, pangkat, keturunan dan hal-hal lain yang sangat ompong untuk dijadikan alasan. Demokrasi tanpa rakyat yang berwawasan dan bermental bagus adalah non sense!” aku berusaha mengucapkannya secepat mungkin
Guruku terdiam, dengan muka merah padam dan bibir yang kaku dia bertutur sekeras mungkin “Ku..kurang ajar kamu! Berani-beraninya membantah Guru…”
“Tidak ‘Pak, saya tidak bermaksud membantah Bapak, saya hanya…”saya coba untuk berapologi, tapi…
“Sudah-sudah! Jangan banyak omong. Kamu ini siswa kurang ajar. Rakyat tak bermoral, tidak cinta tanah air. Sebagai hukuman terhadap sikapmu kali ini, kamu harus buat makalah 300 lembar, kertas folio, spasi satu, dengan tema ‘pentingnya sistem demokrasi di Indonesia’ minggu depan disetor. Selama kamu belum menyelesaikannya, kamu tidak boleh masuk jam saya”
“Ma’af ‘Pak, ada yang perlu saya luruskan, Bapak jangan terburu-buru mengambil kess…”
“Diam! Keluar kamu sekarang”
Baru berapa menit aku masuk kelas, sudah diusir. Ah! Ini biasa. Sepintas aku teringat tulisannya Muhidin M Dahlan dalam bukunya Kabar Buruk dari Langit “Tak ada manusia yang paling kutakutkan, selain mereka yang merengguk kebenaran dengan tergesa-gesa. Kebenaran yang tidak ditimbang-timbang. Kebenaran beku. Kebenaran yang rindu bentuk, rindu rupa dan itu sangat mengerikan. Aku takut dengan itu” aku juga ngeri, ih! Tapi, anggaplah biasa.
***
O, cahaya
Nafasmu lebih embun dari pagi
Dan senyummu lebih purnama dari sya’ban

Detak jantungku melankolis, bersetubuh dengan rintik-rintik hujan di sore buta. Aku duduk, menatap dan merenungi hikmah penciptaan pohon jambu mente di halaman depan rumahku. Ditemani secangkir teh, dan sebuah novel yang belum selesai kubaca. Juga, kejadian-kejadian sejak kemarin aku kaji ulang. Barangkali aku salah atau bagimana, aku sama sekali tidak menutup kemungkinan. O, tidak! Ada yang harus lebih kuperhatikan dari pada hal-hal tersebut. Realitas pendidikan di desaku. Masa’, ada tiga lembaga pendidikan di dua desa yang letaknya berdekatan satu sama lain? Bukankah keberadaan mereka perlu dipertanyakan? Atau mereka ingin memanfaatkan lembaga pendidikan sekaligus sebagai perusahaan—perusahaan MI misalnya—berhubung adanya kepedulian pemerintah setempat yang terwujud pada BOS, BKG atau bahkan BKM? Semoga saja tidak. Amien
“Assalamu’aliakum” sosok berjas hitam, lengkap dengan piama abu-abu, dasi mentereng, celana dan sepatu hitam sambil menenteng tas coklat, menyapaku sore itu.
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarkatuh, eh Bapak Kepala Sekolah, silakan masuk, silakan duduk, ma’af tempatnya agak kotor” ujarku.
“Terima kasih” Balasnya
“Tumben Bapak sudi datang kesini. Ada angin apa ya?”
“Ayah kamu mana?”
“Belum pulang, sejak tadi pagi, pamitnya mau pergi ke kota, katanya tidak akan lama”
“O, ya! Begini ‘Gus, kemarin Bapak Joko cerita tentang percekcokan kalian. Ya! Itu bagus, tapi itu salah tempat”
“Maksud Bapak?”aku semakin mengerutkan dahiku
“Kamu itu benar, bahwa kamu belajar kritis kepada ilmu yang kamu terima, juga kepada Gurumu. Tetapi cara dan waktunya tidak sebagimana baiknya. Itu sama sekali tidak sesuai dengan tatakrama yang baik antara murid dengan Guru. Kamu tahu, setelah kejadian itu ‘Pak Joko berhenti mengajar dari sekolah kita. Dia cerita semuanya padaku sebelum dia pamit secara baik-baik dirumahku kemarin. Tentu, satu lagi korban kekritisanmu yang tidak kamu pelihara dengan baik itu. Satu materi lagi tidak ada yang pegang. Sekolah kita sudah ompong. Kamu harus tahu itu!”dia mencoba berbicara tenang, walaupun sorot matanya sangat menampakkan kemarahan yang mungkin akan meledak sebentar lagi. Dan aku ingin membuktikannya…
“Leh! Mengapa Bapak dulunya mau menjadi kepala sekolah? Bapak tahu sendiri, sekolah kita adalah salah satu sekolah yang didiriakan oleh Juragan Munir dalam satu desa dan desa tetangga yang letaknya cukup berdekatan. Sementara di desa kita sangat sulit mencari tenaga pengajar. Aneh kan, kalau samapai ada sekolah yang berdekatan dan dirintis oleh satu orang dalam jangka waktu yang cukup berdekatan? Untung saya mau sekolah di lembaga yang Bapak pimpin”
“Kamu berani bicara seperti itu murid murtad?” terbukti!
“Ya, itu hak saya”
Tanpa banya bicara dengan raut wajah merah padam berlawanan dengan dinginya angin dan hawa hujan, Bapak kepala sekolah bergegas meninggalkan rumahku dengan terburu-buru. Barangkali muak dengan keberadaanku. Semoga saja dia tidak terpelset di halaman rumahku. Tapi, waktu itu do’aku tidak terkabulkan. Selang waktu kemudian dengan perasaan marah, kesal yang semakin berlipat-lipat dan barangkali dengan bokong yang rada sakit sosoknya lenyap ditelan jarak.
Jujur, aku berani bilang hal yang semacam itu, karena aku curiga sejak pak Andi jadi kepal sekolah, kendaraannya yang semula sepede engkol berubah drastis ke Kawasaki Ninja. su’udzan yang lama ditahan muncul dan muncrat meruntuhkan sebuah tatanan mapan. Eksplosiv!.
Akan tetapi, tampaknya aku agak menyesal. Tidak menutup kemungkinan hubunganku dengan anaknya, Ririn, akan tersendat caused by my explosivity. Semoga saja tidak. Amien.
***
Setengah bulan kemudian, sekolah-sekolah yang didirikan Juragan Munir gulung tikar. Katanya sih tidak ada lagi yang mau sekolah ke sekolah-sekolah tersebut. Katanya juga, tersebarnya percekcokanku dengan guru-guru yang lain ke berbagi lapisan masyarkat telah merubah cara pandang mereka terhadap lembaga-lembaga pendidikan buatan Juragan Munir. Dia kehilangan kepercayaan di mata masyarakat.
Sebenarnya sejak kemarin aku sudah melupakan pemberontakan-pemberontakanku itu. Aku tidak mau lagi waktuku hanya tersita untuk mengurusi hal semacam itu. Masih banyak buku yang harus aku baca, masih banyak misteri yang harus kukuak, dan masih banyak kambing yang harus ku kasih makan di kandang.
Memberontak? Ya! Itu sudah fitrahku. Fitrah sebagai manusia yang lahir karena memberontak dari perut ibu. Fitrah sebagi manusia yang tetap bertahan hidup dengan memberontak kepada kematian—walaupun suatu saat nanti aku pasti kalah. Bukankah kita terjajah oleh manifesto Barat karena pemberontakan kita tanggung-tanggung, wuduna ka’adamina. Sekali berontak jangan tanggung-tanggung. Tetapi, mengenai hal itu…anggaplah biasa—walaupun kenyataannya tidak.
***
Hujan sudah reda.
Sore yang hampir mati, tampak Ayah dan Ririn melangkah tidak seperti biasanya. Langakah yang semakin cepat dengan peluh becucuran dari kening mereka. mereka menghampiriku.
“Pergi kamu dari desa ini sekarang!” dadaku seperti terhantam kayu besar. Ayah marah lagi. Tapi tak seperti biasanya.
Dengan mencoba mengelus dada, aku bertanya “Ada apa ‘Yah, Rin?”
“Sudah jangan banyak omong, kemasi buku-buku sialanmu itu, baju-bajumu dan lekas pergi dari sini. Sebentar lagi mereka akan kesini untuk membunuhmu” ujar Ririn yang semula tampak manis, kini rautnya agak merah manyala.
Dari jauh aku merasakan ada hiruk pirik sepeda motor yang menuju rumahku. Ada apa?
“Sekarang bukan waktunya kamu kritis, cepat kamu pergi atau nanti Bapak akan melemparkanmu dengan paksa” Ayah lagi.
“Tidak ‘Yah, aku benar-benar tidak mengerti”
“Anak bandel! Simapan pertanyaanmu dan lekas ambil buku dan bajumu, kemudian pergi dari sini. Cepat!”ayah merangkul-kekar tubuh kurus-kerempengku dan melemparkan aku ke depan pintu kamarku.
“Baiklah, kalau seperti itu, aku mau diatur kali ini saja. Aku akan pergi dengan kepenasaranku. Tapi…”
“Cepat!” Ayah kembali memotong pembicaraanku, aku paling tidak suka ini. Secepat mungkin aku pergi. Tapi sebelum aku pergi, aku masih menyempatkan diri mencium foto mendiang Ibuku yang tersenyum ramah. “Ma’afkan aku Ibu”. Aku pergi tanpa cerita lagi. Aku pergi karena aku marah terhadap pertanyaan “Ada apa sebenarnya?” yang tidak dijawab dengan alasan yang sama sekali tidak jelas. Marahku semerah api yang membakar rumahku setelah aku tinggalkan beberapa waktu kemudian—aku melihatnya dari jauh. Aku tidak tahu nasib Ayah, potret Ibu dan Ririn. Aku tidak mau tahu. Anggaplah biasa!
***
“Kemarin, kaum dekonstruksionis mendapat serangan mati-matian dengan pertanyaan tajam. Seperti ‘mengapa anda itu hanya bisa memberontak, merombak tanpa memberi tatanan yang lebih baik kedepan?’”
“O, ya! Aku juga dengar, tapi itu kan sebatas wacana?”
“Bukan, itu tidak hanya sebatas wacana, ada efek sosial dan individunya lho!”
“Tapi, menjadi dekontruksionis itu seru kan?”
“Iya sih, seperti cerita anak dekonstruksionis yang diusir dari desanya, rumahnya dibakar habis, Ayahnya dibunuh sadis oleh Juragan Munir dan para algojonya”
“Ha…Ha…”
Omelan mahasiswa kampungan itu mengganggu tidurku saja. Apa tidak ada tempat lain untuk berdebat?. Dengan sisa tenaga hasil dari mencuri nasi tadi aku lemparkan botol teh botol sosro kosong ke arah mereka dan pecah tepat di serambi toko tempat mereka ngobrol.
“Pergi juga kalian”hatiku bertutur.
Dekonstruksi? Apaan sih. Nyopet lagi ah!

Candi, 25 Desember 2006

No comments: