Anugerah Berbudi-daya
Oleh : Moh. Arif Rifqi*
Eksistensi sebuah kebudayaan sebagai cipta rasa dan karsa manusia, pada masa kuno dianggap sebagai sesuatu yang “keramat”. Sehingga wajar apabila antusiasme masyarakat kuno terhadap budaya, terlebih budaya mereka sendiri, mampu melahirkan seperangkat aturan yang diparipurniai dengan lahirnya agama ardhi seperti, dinamisme, dan animisme. Disamping itu pula, sikap itu secara tidak sadar dapat menimbulkan chauvisme kulturalis pada intern minoritas-minoritas yang kuat dan fanatis. Maka, tak ayal apabila sensitifitas-emosional mereka berdampak pada kerawanan konflik yang berujung pada subjugasi-subjugasi pihak lemah (inferior culture) dalam upaya proses konstruksi tatanan yang lebih besar. Kita lebih mengenalnya dengan istilah kerajaan.Dengan mendarah-dagingnya eksistensi dan esensi budaya pada individu maupun kelompok pada masa kuno, mereka malakukan eternalisasi yang berejawantah pada manuskripisasi, pembangunan candi-candi, dan aneka prasasti yang kelak mereka yakini akan berguna bagi generasi selanjutnya; dan itupun terbukti. Akan tetapi, lain halnya dengan kondisi pembudayaan “seperangkat budaya” pada masa kini. Arus transformasi ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi yang serba liberal sedikit demi sedikit telah merubah pola akulturasi yang semula ramah masyarakat menjadi liar. Bahkan ada klaim upaya yang terkesan kapitalis. Kebudayaan yang lebih megah, lebih meriah akan lebih mudah mengakulturasi pada kebudayaan lain yang relatif sangat sederhana, dengan melalui banyak sisi.Eksistensi kebudayaan pada masa kini, tampak tidak lebih dari sebongkah emas yang akan semakin mengkilap kalau dibangga-banggakan—padahal pemelihraan yang lebih intesif dari waktu ke waktu laebih dibutuhkan. Sehingga, wajar apabila eksistensinya kurang (ter)-sadari dengan baik. Bahkan, tidak sama sekali. Hal itu bisa daipandang wajar apabila kompleksitas problematika kehidupan dan aneka tantangan lebih, menjadi pusat perhatian yang mereka rasakan. Ironisnya, mereka justeru berkamuflase dengan berbagai alasan-alasan yang mereka anggap “up to date”. Sehingga ini menjadi salah satu faktor dalam yang sangat berpengaruh pada marginalisasi kelompok lain.Sementara itu, kebudayaan sebagai manifestasi utama cipta rasa dan karsa manusia, tidak terbatas pada satu sisi saja. Secara otomatis, kualitas kebudayaan disamping sebagai self identyty atau self basic-characteristic suatu kelompok untuk diperhitungkan eksistensinya, juga sebagai inventaris dari barometer progresifitas kelompok (daerah atau negara).Dengan demikian, tak dapat dipungkiri lagi, bahwa kebudayaan lebih tandensif pada anugerah dan nikmat yang harus disyukuri dengan memelihra, dan mengembangkannya dengan baik; kualitas kebudayaan sangat berkaitan-erat dengan kasadaran akan nilai pluralitas dan privacy-nya. Pada konteks tersebut, remaja sangat berperan penting, terkait dengan kondisi metal yang sangat potensial namun juga rawan. Oleh karena itu, “relokasi” nurani sebagai pusat kontrol segala aktifitas dan diiringi dengan optimalisasi peran otak (berpikir sekaligus merenung), akan melahirkan proses yang terus berlanjut.
No comments:
Post a Comment