aku akan hidup
"selamanya" di dunia
tanpa oksigen dan
makanan
Oca' Sapa
Mewujudkan (Masyarakat) Sumenep yang Benar-Benar On Line
Oleh : Moh. Arif Rifqi*
Aneka ragam usaha dan pola pikir manusia secara moral memunculkan tangung jawab dan hak yang mesti diadilkan. Karena, di antara keduanya sewaktu-waktu harus saling berurutan berdasarkan konteks moral yang berlaku di masyarakat, ada kalanya juga harus sejajar; tergantung pada stabilitas mental dan kesadaran individu dalam suatu komunitas. Salah satu buah aplikasinya adalah produk pemikiran manusia yang akan membenahi ruang pluralitas dan multi konsepsi yang beraneka ragam, dengan wujud konkret berupa upaya ”pembukuan” buah pikir manusia yang dikomparasikan dengan eksperimen yang sangat bermanfaat bagi kesejahteraan manusia.Akan tetapi, penyebarluasan buku masih terkendala oleh ruang dan waktu. Sehingga, ketidakrata-an penyebarluasannya juga mempengaruhi “aktualitas” ilmu pengetahuan dan informasi yang kurang menguntungkan daerah pelosok. Contoh jelasnya, seperti, hanya koran dan majalah yang mempunya network bisnis berskala luaslah yang mampu “merakyat”. Di samping itu juga, keterbatasan kemampuan ekonomi rakyat pelosok, mengganjal pengkonsumsian media informasi yang aktual, akurat, dan up to date se-optimal mungkin.Dari kasus semacam itu, signifikasi perpustakaan sebagai mini scriptorium pemikiran manusia sekaligus pusat informasi disuatu daerah perlu ditangani secara serius. Minimal dalam suatu desa, ada suatu taman baca. Seperti halnya di Sumenep, keberadaan perpustakaan daerah semata-mata tidak lebih hanya sebatas gudang buku yang sangat terbatas dan belum sepenuhnya mampu menyajikan informasi yang up to date. Walaupun di ruangan luar ada “perpustakaan internet” dengan tarif yang relatif mahal dan masih terkesan lebih pada profit oriented; eksistensinya masih belum merakyat (ekonomis). Disamping itu, hal ini juga didukung dengan masih belum memasyarakatnya penggunaan internet di sebuah daerah yang masuk nominasi 10 go-on line terbaik tahun yang lalu ini (Sumenep).Perpustakaan Buku dan Internet Tidak (Harus) KontraSalah satu buah dari kekhawatiran Mark Slouka tentang menjamurnya dunia cyberspace (internet)—yaitu hilangnya eksistensi dan esensi dasariah dunia real, tampaknya mesti kita tarik benang merahnya dengan antitesis kondisi dasariah dan mental-intelektual masyarakat Sumenep sangat membutuhkan informasi dan ilmu pengetahuan terkini secepat mungkin. Sehingga rekombinasi kedua sumber informasi tersebut akan mewujudkan Sumenep yang on line dengan masyarakatnya (society on line).Di lain sisi, bagaimana dengan kesiapan masyarakat Sumenep untuk on line? Dalam artian, apakah masyarakat Sumenep mampu aktif tanpa merusak tatanan moral dan etika masyarakat di dunia internet. Hal ini membutuhkan sinkronisasi antara nilai budi dan nilai fungsi. Artinya, penyediaan dan penggunaan fasilitas internet terbentuk dalam sebuah tatanan konstruktif satu sama lain. Disamping kita mengaruk ilmu pengetahuan, kita juga memperhatikan moral dan etika serta tanggung jawab untuk pemanfaatannya kearah yang luwes. Seperti, bukan tidak mungkin kita menemukan dimensi releguisitas di dunia cyberspace.Naifnya, kalau-kalau fasilitas-fasilitas on line justru disalah gunakan untuk pengaksesan situs-situs blue dan aneka amoralitas tindak-tanduk netter di dunia cyberspace. Disini kemudian menurut banyak pustakawan, eksistensi perpustakaan buku akan menemukan kembali fungsinya sebagai penasehat yang lebih efisien dan praktis setelah dikombinasikan dengan browsing informasi buku-buku terkini dan berkualitas tinggi dan juga pada konteks bisnis melalui network yang efisien dan efektif.Pengaplikasian on line (isasi) masyarakatini dirasa sangat penting karena, pertama, Sumenep mempunyai sumber daya alam yang kaya dan aneka pengelolaan yang akan lebih bermanfaat dengan terjalinnya network yang cepat dan akurat antara pengusaha dengan pengusaha yang lain. Kedua, masyarakat pelajar di Sumenep dapat mengembangkan potensinya melalui browsing informasi dan teknologi serta ilmu pengetahuan yang sangat dibutuhkan secara lebih luas dan mendalam seefektif mungkin. Sementara, kalau melihat berbagai lembaga pendidikan di Sumenep, masih tergolong jarang sekolah atau madrasah yang mempunyai target minimal ada seperangkat atau lebih, komputer yang lengkap dengan modem dan saluran teleponnya untuk aktif di dunia internet. Menurut mereka, hal ini disebabkan oleh tarif pulsa yang dianggap mahal. Tetapi, apakah harus selamanya (di)mahal(kan) ?Maka dari itu, “on line(isasi) masyarakat Sumenep” di samping akan menjadi sebuah gebrakan awal terhadap Sumenep sendiri dan daerah lain juga sebagai solusi cerdas ekporasi, ekploitasi dan pengkonsumsian informasi yang cepat, akurat dan aktual sewajarnya; bahwa segalanya efisien, praktis, akurat dan up to date kalau saja penanganannya terorganisir dengan baik. Bukan hanya BIKOMINFO saja yang ikut andil, tetapi, antusiasme masyarakat dan pemerintah sangat penting dalam mengaktifkan kepasifan masyarakat Sumenep di dunia cyberspace. Sebab sebuah tatanan yang komplek dan “dahsyat”, akan tetap terjaga dan berkembang selama tidak ada sedikitpun komponen yang selingkuh.Wallahu a’lam
No comments:
Post a Comment