Buku Dan Teknologi (Masa Depan)
Oleh : Moh. Arif Rifqi
Jika ada pertanyaan kira-kira apa kaitannya antara buku dan teknologi? Jawabnya, wah! Banyak sekali. Seiring perkembangan teknologi , kita dapat meperoleh informasi tetang buku-buku up to date melalui internet; buku dapat dicetak dengan lebih menarik, lebih bagus dan lebih berkualitas; buku tidak lagi hanya berupa kertas-kertas yang tersusun rapi, tapi juga ada buku elektronik, and so on.
Seiring juga diterbitkannya buku-buku “berteknologi” atau lebih dikenal dengan istilah buku futurologi. Buku-buku semacam ini seringkali membahas tentang prediksi masa depan dengan perkembangan-perkembangan teknologinya disertai efek-efek dalam bentik karya ilmiah. Sehingga, kadangkala timbul pertanyaan bagaimana mungkin sebuah prediksi disajikan secara ilmiah? Tetapi, sebenarnya tujuan mereka menulis buku futurologi adalah untuk menggambarkan masa depan dengan prediksi-prediksi yang berdasar pada probablitas teoritis mutakhir. Seperti yang di tuurkan Susan Grenfield pada buku futurologinya Tomorrow’s People. Di sisi lain, tampaknya penulsan dalam bentuk karya ilmiah kurang begitu mudah tersosisalisir. Karena bahsanya kadangkali sulit dipahami.
Tidak kalah saing, dari genre fiksi sains, sejak beberapa tahun yang lalu mulai bermunculan dan menarik banyak perhatian bagi penggemar buku—utamnya fiksi. Seperti, novel Lelaki di Titik Nol-nya Mustafa Mahmud, Area X-nya Eliza F. Hndayani, Supernova series-nya Dewi Lestari berusaha menyuguhkan hal sama dengan cara berbeda-beda.
Mustafa Mahmud menyuguhkan adanya atom cinta yang ternyata tidak bisa diteliti dan dibuktikan di laboratorium, sekalipun dengan mikroskop elektreon termutakhir sekalipun. Melainkan harus dipraktekkan langsung dalam laboratorium rumah tangga. Juga, Taufiq Isma’il dalam panegantar novel Area X menulis “dimensi avontuer mereka (tokoh-tokoh dan alur pada novel tersebut; pen.) mencakup ruang angkasa raya, dengan galksi-galaksi serta benda-benda angkasanya, meliputi masalah gawat sumber energi, kebergantungan pada teknologi, sedemikian rupa sehingga tak lagi menyadari (bahwa) Energi terbesar terkubur dalam jiwa manusia”. Sementara, Dewi Lestari menyguhkan realitas sosial melalui sinkronisasi antara teknoleogi dan dunia metafisis. Hal ini sangat namapak pada novel Supernova seri Petir dengan penonjolan nasib sosok Etra (Elektra), gadis cina yang khawatir terhadap penyakit epilepsi.
Kehadira genre fiksi sains secara tidak langsung mempunyai titik penting sebagai salah satu media penyuluhan tetang kesadaran berteknologi yang lebih baik, dan media penyadaran kembali terhadap kesadaran –“lebih” terhadap adanya nilai-nilai kemanusiaan yang harus lebuh diperhatikan dan dipertahankan, dari pada gila atau malah latah pada perkembangan teknologi.
Karena disamping sebagai karya sastra pinter dan cerdas, intrikasi teks dan isi yang semula menjadi polemik pada pencernaan buku-buku futurologi ilmiah, bukan lagi polemik pada buku-buku fiksi sains yang sangat berpeluang besar untuk dipahami sekaligus dinikmati pembaca.
Akan tetapi, keberadaan mereka, kadangkala justru disikapi dan dianggap sebagai buku buah kahyalan belaka dan tidaka akan mungkin terjadi. Malah justru, signifikansi mereka sangat besar. Yaitu sebagai media reformulasi prospek dan pola pandang (view style) yang optimis, juga sebagai preparasi terhadap arus perkembangan teknologi yang akan semakin deras.
Kehadiran genre fiksi sains menjadi lebih penting lagi bagi bangsa Indonesia, pecinta dan pemerhati buku, remaja, dan semua kalangan untuk mememandang dunia kini dan masa depan melalui narasi pintar dan cerdas. Bukan justru menganggapnya sebagi khayalan disiang bolong. Robbana ma khalaqta hadza batila. Wallahu’alam