Memaknai hidup bukan dengan meghindari hal yang jelek dan senantiasa berbuat baik. Akan tetapi,memaknainya dengan mesyukuri; yaitu dengan berani mengahadapi tantangan, bukan menghindarinya adalah lebih baik..:)
Monday, October 29, 2007
Lihat ni gambar dong!
tampak yang pakai baju hitam si owner, lagi diskusi di depan kantor Flora Fauna International di Laboratoratorium Pusat Universitas Nasional. lihat tu...!bang Edward sama Dikky lagi khusyuk dengerin argumenku
Thursday, October 25, 2007
Artikel Sastra
HISTORI NOVEL SASTRA
DAN ANTISIPASI TERHADAP PENELANAN-MENTAH NILAI INSTIRISIKNYA
Oleh:
Mohammad Arif Rifqi
Pendahuluan
Eksistensi novel sastra di dunia baca-tulis lebih memiliki signifikansi dan pengaruh dibandingkan buku-buku ilmiah. Hal tersebut tidak lepas dari daya tarik novel sastra itu sendiri, kegemaran dan kualitas pemahaman pembaca. Memang, di bandingkan buku-buku ilmiah, novel sastra lebih banyak di gemari. Bisa di katakan buku-buku yang berpridikat best seller lebih banyak novel sastra di bandingkan buku-buku ilmiah ; Walaupun sama-sama mendapat predikat best saller, tetapi secara kuantitas selisih keduanya cukup jauh.
Histori Singkat
Di Indonesia sering kali kabur untuk menyebut karya prosa yang wujudnya sama. yaitu istilah roman dan novel. Hal ini berawal dari dua pandangan yang berbeda. Pandangan pertama, yang membedakan istilah tersebut. Menurut mereka roman mengisahkan tokoh sejak lahir sampai meninggal. Sedangkan novel, hanya mengisahkan tentang sebagian tokoh yang nasibnya mengalami perubahan.
Pendapat kedua, menyamakan kedua istilah tersebut. Sehingga mereka menggunakan kedua istilah tersebut untuk karya sastra yang sama. Maka wajar, apabila sayembar menulis roman yang di selenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) selalu di menangkan oleh karya sastra berupa novel .
Secara historis, awal mula munculnya kata novel ialah pada massa renaissance (abad ke14 sampai abad 17), yaitu ketika penulis Italia bernama Giovani Boccacio menggunakan istilah novella untuk narasi pendek di II pecca merone, yaitu kumpulan seratus cerita yang bagus dan cerdas yang di set dalam satu bingkai cerita. Setelah ceritanya di terjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kata novel diserap menjadi istilah bahasa Inggis. Namun kata novella dalam bahasa Inggris akhir-akhir ini merujuk pada novel pendek lebih dikenal dengan istilah novelet.
Dari sudut pandang lain, novel kembali terbagi menjadi dua jenis berdasarkan gaya cerita yang disajikan. Yaitu novel Teenlit atau Chiklit dan novel sastra. Ada beberapa kalangan yang mengganggap novel sejenis Teenlit atau Chiklit dapat mengganggu stabilitas gramatologi bahasa Indonesia seperti sinyalmen bahwa penulis novel serial Lupus, Hilman Hariwijaya telah “merusak” tata bahasa Indonesia dengan gaya bahasa yang cendrung seenaknya. Tetapi, kemudian, NH. Dini, pengarang ternama, membelanya dengan argumen bahwa meskipun gaya bahasanya cuek, Hilman tetap menjaga gaya bahasa .
Disamping itu, novel sastra yang lebih cendrung membicarakan masalah-masalah HAM, keadilan, kesetaraan gender, budaya dan religiusitas lebih di anak emaskan sebagai karya yang lebih mendidik. Tapi, lain halnya dengan pelarangan terhadap novel –novel Pramudya Ananta Toer pada masa orde baru, karena dituduh sebagai buku yang mengandung ajaran-ajaran komunisme tanpa alasan yang konkret, tetapi gap-gap tersebut sudah mulai hilang.
Pengaruh Terhadap Konstruksi Mental Pembaca
Masalah daya konstuksi mental novel sastra lebih berpengaruh. Karena melalui cerita, suatu amanah yang terkandung akan lebih mudah menyerap dan menyentuh ke sanubari pembaca. Dengan gaya bahasa sastrawi dan unsur instrinsik yang lebih diprioritaskan, maka novel sastra lebih dianakemaskan dari pada novel Teenlit atau Chiklit dengan unsur ekstrinsik yang lebih di prioritaskan. Tetapi, ini bukan konsep diskriminasi atau dikatomi yang di besar-besarkan, justru seperti apa yang di ungkapkan dalam al-Qura’an bahwa perbedaan adalah rahmat.
Di dunia kesusastraan Islam, novel sastra sangat di sambut antusias. Seperti munculnya sosok novelis science fiction Mustafa Mahmud, Naqib Mahfudz, novelis muda, Habiburrahman El-Shirazi, Muhammad Iqbal dan tokoh novelis lainnya . Semangat sastrawan islam tidak lepas dari pemahaman mereka bahwa al-Qur’an adalah sastra terbaik sepanjang masa. yang di dalamnya terdapat kisah-kisah yang penuh dengan hikmah bahkan terbaik. Marmaduke Pickthall mendiskripsikan al-Qur’an sebagai simfoni yang tak terelakkan yang menggerakkan manusia menuju kebahagiaan dan air mata. Semantara, menurut Thomas Carlyle al-Qur’an adalah tulisan paling rumit dan membingungkan yang pernah dia baca—hanya kewajiban yang mampu membuat orang-orang Eropa membacanya.
Bagaimana mungkin dunia cendikaiwan dengan latar belakang sama tapi menghasilkan dua pendapat yang berbeda. Jawabannya sedarhana, Picktall mampu berbahasa arab sedangka Carlyle tidak .
Walaupun apa yag kita baca tidak seratus persen dapat kita tangkap dan kita cerna. Tetapi, pengaruh membaca terhadap proses konstruksi mental individu tidak dapat ragukan lagi sinifikansinya. Orang yang sering membaca novel sastra tentu akan berbeda dengan seorang yang sehari-harinya akrab dengan buku atau persoalan eksasta ketika di harapkan pada masalah yang sama. Contoh kongkrit lainnya, di dunia politik, putusan-putusan dan kebijakan-kebijakan yang keluar dari parpol yang berasas islam dan parpol yang berasaskan pancasila. Salah satu penyebabnya adalah buku-buku yang mereka baca tentunya tidak sama.
Imaji yang terangkat dari karya sastra selalu merupakan gambaran utuh sebuah gagasan besar. Tidak terkecuali novel sastra. Dalam banyak hal kehadiran novel sastra bisa di sejajarkan dengan epos yang pada umumnya lahir dari konteks sejarah suatu lokal atau komonitas tertentu. Mungkin perbedaannya hanya terletak dalam bentuk dan gaya ekpresinya saja.
Novel sastra khususnya hanya bergerak dalam suatu lokalitas yang terbatas, partikular , namun representasinya sangat menentukan gagasan yang di usungnya. Dalam novel sastra, gagasan tersebut dimanifestasikan dalam sebuah “konflik abadi” antara si narator dengan tokoh yang di angkat. Menurut Bakhtin, ada “pluralitas dialogois” yang berlangsung diantara celah-celah narasi tekstual .
Signifikansi imajinasi dalan novel sangat penting. Setidaknya, karena ia juga menghadirkan fakta yang tersembunyi di balik ruang tekstual . Nuansa keindahan sebuh novel sastra juga memberi nuansa kebenaran; mengajaknya untuk bergulat dalam ruang dan waktu tempat eksistensi dan esensi manusia ada. Thomas Aquinas berkata bahwa, kebenaran dan keidahan tidak dapat di pisahkan, pulchrum est splendor veritatis. Bentuk dan ekspresi keindahan itu sendiri dapat melalui makna dan perlambangan (sinn und bedeuntung). Dan disinilah juga letak signifikansi novel sastra sebagai penyalur pesan nilai-nilai kebenaran yang dipadukan dengan nilai estetika yang sama-sama mendukung “adaptasi” dan “absorpasi” nilai-nilai dasar intern teks, seperti apa yang dimaksudkan Dewi Lestari (Dee) pada pengantar Novel Serialnya Supernova .
Dengan demikian, pengaruh novel sastra dalam pembentukan mental pembaca mempunyai “titik klimaks” ketika konflik antara pembaca dengan novel sastra berada pada kondisi adolesence. Sehingga, untuk novel sejenis Kabar Buruk dari Langit; Luka Cinta Pencari Tuhan dan Adam Hawa; Hawa bukan Wanita Pertama karya Muhidin M. Dahlan atau novel liar dan “sekuler” lain-lainnya patut kembali disaring dan diperhatikan; dimana sejatinya posisi pembaca ketika kekaburan imaji dengan kebiasaan menelan mentah-mentah amanat yang tidak terbendung ketika membaca novel sastra. Wallahua’lambisshawab.
Daftar Pustaka
Kritzeck, James. 2003. Simphoni Surga; Avant Grade Sastra Islam. Yogyakarta; Kota Kembang
Fajri, Dian Yasmina, dkk. 2004. Buku Sakti Menulis Fiksi. Jakarta: PT. Kamus Bina Tazkia
Kerraf, Gorys. 2000. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Namah, Jawid. 2003. Kitab Keabadian oleh Muhammad Iqbal. Jakarta: PT. Dunia Jaya Pustaka.
Dee. 2005. Supernova Episode Petir. Jakarta: Akur.
Dahlan, Muhidin M. 2004. Kabar Buruk dari Langit; Luka Cinta Pencari Tuhan. Yogyakarta. Screptamanent.
________________. 2005. Adam Hawa; Hawa Bukan Wanita Pertama. Yogyakarta. Screptamanent.
www. cybersastra.net/ essay/ mohammad al-fayyad
Majalah Bibliophile. Bandung, edisi Maret 2000
DAN ANTISIPASI TERHADAP PENELANAN-MENTAH NILAI INSTIRISIKNYA
Oleh:
Mohammad Arif Rifqi
Pendahuluan
Eksistensi novel sastra di dunia baca-tulis lebih memiliki signifikansi dan pengaruh dibandingkan buku-buku ilmiah. Hal tersebut tidak lepas dari daya tarik novel sastra itu sendiri, kegemaran dan kualitas pemahaman pembaca. Memang, di bandingkan buku-buku ilmiah, novel sastra lebih banyak di gemari. Bisa di katakan buku-buku yang berpridikat best seller lebih banyak novel sastra di bandingkan buku-buku ilmiah ; Walaupun sama-sama mendapat predikat best saller, tetapi secara kuantitas selisih keduanya cukup jauh.
Histori Singkat
Di Indonesia sering kali kabur untuk menyebut karya prosa yang wujudnya sama. yaitu istilah roman dan novel. Hal ini berawal dari dua pandangan yang berbeda. Pandangan pertama, yang membedakan istilah tersebut. Menurut mereka roman mengisahkan tokoh sejak lahir sampai meninggal. Sedangkan novel, hanya mengisahkan tentang sebagian tokoh yang nasibnya mengalami perubahan.
Pendapat kedua, menyamakan kedua istilah tersebut. Sehingga mereka menggunakan kedua istilah tersebut untuk karya sastra yang sama. Maka wajar, apabila sayembar menulis roman yang di selenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) selalu di menangkan oleh karya sastra berupa novel .
Secara historis, awal mula munculnya kata novel ialah pada massa renaissance (abad ke14 sampai abad 17), yaitu ketika penulis Italia bernama Giovani Boccacio menggunakan istilah novella untuk narasi pendek di II pecca merone, yaitu kumpulan seratus cerita yang bagus dan cerdas yang di set dalam satu bingkai cerita. Setelah ceritanya di terjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kata novel diserap menjadi istilah bahasa Inggis. Namun kata novella dalam bahasa Inggris akhir-akhir ini merujuk pada novel pendek lebih dikenal dengan istilah novelet.
Dari sudut pandang lain, novel kembali terbagi menjadi dua jenis berdasarkan gaya cerita yang disajikan. Yaitu novel Teenlit atau Chiklit dan novel sastra. Ada beberapa kalangan yang mengganggap novel sejenis Teenlit atau Chiklit dapat mengganggu stabilitas gramatologi bahasa Indonesia seperti sinyalmen bahwa penulis novel serial Lupus, Hilman Hariwijaya telah “merusak” tata bahasa Indonesia dengan gaya bahasa yang cendrung seenaknya. Tetapi, kemudian, NH. Dini, pengarang ternama, membelanya dengan argumen bahwa meskipun gaya bahasanya cuek, Hilman tetap menjaga gaya bahasa .
Disamping itu, novel sastra yang lebih cendrung membicarakan masalah-masalah HAM, keadilan, kesetaraan gender, budaya dan religiusitas lebih di anak emaskan sebagai karya yang lebih mendidik. Tapi, lain halnya dengan pelarangan terhadap novel –novel Pramudya Ananta Toer pada masa orde baru, karena dituduh sebagai buku yang mengandung ajaran-ajaran komunisme tanpa alasan yang konkret, tetapi gap-gap tersebut sudah mulai hilang.
Pengaruh Terhadap Konstruksi Mental Pembaca
Masalah daya konstuksi mental novel sastra lebih berpengaruh. Karena melalui cerita, suatu amanah yang terkandung akan lebih mudah menyerap dan menyentuh ke sanubari pembaca. Dengan gaya bahasa sastrawi dan unsur instrinsik yang lebih diprioritaskan, maka novel sastra lebih dianakemaskan dari pada novel Teenlit atau Chiklit dengan unsur ekstrinsik yang lebih di prioritaskan. Tetapi, ini bukan konsep diskriminasi atau dikatomi yang di besar-besarkan, justru seperti apa yang di ungkapkan dalam al-Qura’an bahwa perbedaan adalah rahmat.
Di dunia kesusastraan Islam, novel sastra sangat di sambut antusias. Seperti munculnya sosok novelis science fiction Mustafa Mahmud, Naqib Mahfudz, novelis muda, Habiburrahman El-Shirazi, Muhammad Iqbal dan tokoh novelis lainnya . Semangat sastrawan islam tidak lepas dari pemahaman mereka bahwa al-Qur’an adalah sastra terbaik sepanjang masa. yang di dalamnya terdapat kisah-kisah yang penuh dengan hikmah bahkan terbaik. Marmaduke Pickthall mendiskripsikan al-Qur’an sebagai simfoni yang tak terelakkan yang menggerakkan manusia menuju kebahagiaan dan air mata. Semantara, menurut Thomas Carlyle al-Qur’an adalah tulisan paling rumit dan membingungkan yang pernah dia baca—hanya kewajiban yang mampu membuat orang-orang Eropa membacanya.
Bagaimana mungkin dunia cendikaiwan dengan latar belakang sama tapi menghasilkan dua pendapat yang berbeda. Jawabannya sedarhana, Picktall mampu berbahasa arab sedangka Carlyle tidak .
Walaupun apa yag kita baca tidak seratus persen dapat kita tangkap dan kita cerna. Tetapi, pengaruh membaca terhadap proses konstruksi mental individu tidak dapat ragukan lagi sinifikansinya. Orang yang sering membaca novel sastra tentu akan berbeda dengan seorang yang sehari-harinya akrab dengan buku atau persoalan eksasta ketika di harapkan pada masalah yang sama. Contoh kongkrit lainnya, di dunia politik, putusan-putusan dan kebijakan-kebijakan yang keluar dari parpol yang berasas islam dan parpol yang berasaskan pancasila. Salah satu penyebabnya adalah buku-buku yang mereka baca tentunya tidak sama.
Imaji yang terangkat dari karya sastra selalu merupakan gambaran utuh sebuah gagasan besar. Tidak terkecuali novel sastra. Dalam banyak hal kehadiran novel sastra bisa di sejajarkan dengan epos yang pada umumnya lahir dari konteks sejarah suatu lokal atau komonitas tertentu. Mungkin perbedaannya hanya terletak dalam bentuk dan gaya ekpresinya saja.
Novel sastra khususnya hanya bergerak dalam suatu lokalitas yang terbatas, partikular , namun representasinya sangat menentukan gagasan yang di usungnya. Dalam novel sastra, gagasan tersebut dimanifestasikan dalam sebuah “konflik abadi” antara si narator dengan tokoh yang di angkat. Menurut Bakhtin, ada “pluralitas dialogois” yang berlangsung diantara celah-celah narasi tekstual .
Signifikansi imajinasi dalan novel sangat penting. Setidaknya, karena ia juga menghadirkan fakta yang tersembunyi di balik ruang tekstual . Nuansa keindahan sebuh novel sastra juga memberi nuansa kebenaran; mengajaknya untuk bergulat dalam ruang dan waktu tempat eksistensi dan esensi manusia ada. Thomas Aquinas berkata bahwa, kebenaran dan keidahan tidak dapat di pisahkan, pulchrum est splendor veritatis. Bentuk dan ekspresi keindahan itu sendiri dapat melalui makna dan perlambangan (sinn und bedeuntung). Dan disinilah juga letak signifikansi novel sastra sebagai penyalur pesan nilai-nilai kebenaran yang dipadukan dengan nilai estetika yang sama-sama mendukung “adaptasi” dan “absorpasi” nilai-nilai dasar intern teks, seperti apa yang dimaksudkan Dewi Lestari (Dee) pada pengantar Novel Serialnya Supernova .
Dengan demikian, pengaruh novel sastra dalam pembentukan mental pembaca mempunyai “titik klimaks” ketika konflik antara pembaca dengan novel sastra berada pada kondisi adolesence. Sehingga, untuk novel sejenis Kabar Buruk dari Langit; Luka Cinta Pencari Tuhan dan Adam Hawa; Hawa bukan Wanita Pertama karya Muhidin M. Dahlan atau novel liar dan “sekuler” lain-lainnya patut kembali disaring dan diperhatikan; dimana sejatinya posisi pembaca ketika kekaburan imaji dengan kebiasaan menelan mentah-mentah amanat yang tidak terbendung ketika membaca novel sastra. Wallahua’lambisshawab.
Daftar Pustaka
Kritzeck, James. 2003. Simphoni Surga; Avant Grade Sastra Islam. Yogyakarta; Kota Kembang
Fajri, Dian Yasmina, dkk. 2004. Buku Sakti Menulis Fiksi. Jakarta: PT. Kamus Bina Tazkia
Kerraf, Gorys. 2000. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Namah, Jawid. 2003. Kitab Keabadian oleh Muhammad Iqbal. Jakarta: PT. Dunia Jaya Pustaka.
Dee. 2005. Supernova Episode Petir. Jakarta: Akur.
Dahlan, Muhidin M. 2004. Kabar Buruk dari Langit; Luka Cinta Pencari Tuhan. Yogyakarta. Screptamanent.
________________. 2005. Adam Hawa; Hawa Bukan Wanita Pertama. Yogyakarta. Screptamanent.
www. cybersastra.net/ essay/ mohammad al-fayyad
Majalah Bibliophile. Bandung, edisi Maret 2000
Friday, August 24, 2007
Resensi "Perpustakaan Ajaib"
Ketika Buku Bercerita Buku
Judul buku : Perpusatakaan Ajaib Bibbi Bokken
Penulis : Jostien Gaarder dan Klaus Hagerup
Penerbit : Mizan
Cetakan : III, Maret 2007
Tebal : 294 halaman
Peresensi : Moh. Arif Rifqi
Ketika buku membincang buku, berarti dunia baca-tulis mulai “membaca” dirinya sendiri dengan memberi ruang interpretasi tekstual yang lebih luas dan mendalam. Sehingga, otomatis karena upaya tersebut tidak bisa dipisahkan dari dimensi ghiroh kepenulisan dan histori yang melatar belakangi lahirnya karya tulis. Karena, pada dasarnya, dengan mencoba melakukan “introspeksi diri” (reinterpretasi), maka kejumudan membaca yang seringkali berakibat fatal pada lemahnya daya analisis analis teks.
Seperti yang dilakukan penulis novel Dunia Shopie, Jostien Gaarder yang berduet dengan penulis kawakan Norwegia, Klaus Hargerup membuat inovasi menarik di dunia novel melalui buah karya mereka yang membincang buku (perpustakaan) melalui sebuah novel. Cerita yang dimulai dari korespondensi dua saudara sepupu yang tinggal di dua kota yang berbeda, Nilss dan Berrit melalui buku-surat yang mereka saling kirimkan satu sama lain, dikemas dengan menarik dan penuh dengan misteri-misteri dan petualangan yang menggelitik adrenalin.
Pada mulanya korespondensi mereka hanya sebatas buah dari rangsangan Billie Holiday. Namun, konspirasi Bibbi Bokken yang mereka prediksi sedang memburu buku–surat mereka, membuat kedua sepupu bersaudara ini melakukan investigasi serius seraya bertindak sebagai “detektif cilik” untuk mengungkap misteri Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken.
Baik Nilss maupun Berrit pada mulanya tidak menyadari bahwa mereka menjadi pion-pion yang dikendalikan oleh Bibbi Bokken dan komplotannya. Namun, setelah mereka vis a vis langsung dengan Bibbi Bokken di Perpustakaan Ajaibnya, mereka baru mengetahui dan menyadari bahwa misteri Perpustakaan Ajaib yang mereka sangka sangat krusial ternyata lebih bertendensi pada kesempatan penuh yang memungkinkan buku-buku yang akan dan sedang ditulis, terbit—termasuk buku-surat mereka. Dalam beberapa abad mendatang, dari perpustakaan ajaib tersebut seganap fantasi yang terkumpulkan akan menjadi incunabula yang sangat berharga. Tentulah kata-kata akan dirangkai dengan cara lain, kalimat yang digunakan pasti tidak sama . Namun, segala yang terkumpul kemungkinan besar akan menjadi bahasa masa depan. Begitulah perpustakaan ajaib melahirkan bacaan baru. Keajaiban sejati dalam kehidupan kita (pun) terlahir sudah (hal. 245). karena memang ketika mereka berdua dibawa keruangan perpusatakaan ajaib oleh Bibbi Bokken, ruangan itu tidak lebih hanya rak-rak buku dan kertas-kertas berserakan. Bahkan, di ruangan itu mereka berdua menemukan sobekan kertas yang bertuliskan puisi yang mereka tulis di buku-surat mereka.
Petualangan mereka mengklimaks ketika salah satu anggota komplotan Bibbi Bokken ada yang tidak menyukai penerbitan buku–surat Nilss dan Berrit, Marcus ‘Similey’ Bouur Hansen. Dengan mengejawantahkan fantasi kreatif anak-anak yang kerap kali mengejutkan, mereka berusaha memupuskan harapan Similey.
Novel berlatar negri Norwegia dan sedikit menyinggung Italia ini, tampaknya lebih kental dengan gaya penulisan Jostien Gaarder melalui tokoh-tokoh mistrius seperti pada novel-novel sebelumnya yang serba misterius. Seperti kehadiran sosok Alberto Knox, Alberto Knax dan Hilde di kehidupan Shopie dalam novel Dunia Shopie atau tokoh gadis jeruk pada novel Gadis Jeruk (Orange Girl) . Sementara itu, nuansa petualangan kedua bocah dalam novel ini memberi ruang tersendiri bagin kreatifitas Klaus Hargerup yang memang kesehariannya banyak menulis buku-buku anak dan remaja.
Ketika membaca novel ini, pembaca seperti dibawa melihat satu kisah dengan dua “teropong” berbeda dalam waktu yang sama. Kedua penulis seolah–olah—atau memang—memegang dua tokoh sentral dan berlomba-lomba menulis “buku-surat” kemudian memadukannya secara harmonis. Sehingga, butuh ketelitian ekstra ketika membaca novel ini, utamanya pada bab kedua. Sebab pemisahan aku lirik antara Berrit dan Nils cukup sulit dibedakan; hanya dipisahakan oleh spasi ganda dan garis baru tidak berparagraf.
Disamping itu, gaya bahasa tulis Barat tidak sepenuhnya dapat disinkronkan dengan gaya bahasa tulis Indonesia oleh penerjemah. Sehingga, walaupun terkesan padat, kalimat-kalimatnya cukup sukar untuk dipahami oleh pembaca yang sebelumnya tidak pernah membaca novel sastra Barat terjemahan sama sekali.
Istimewanya, novel ini mempunyai makna dan kesan tersendiri di dunia baca-tulis. Sebab, disamping pembaca akan dibawa ke petulangan yang seru, pembaca juga diajak mengenal tokoh-tokoh legendaris di dunia baca-tulis Barat seperti Astrid Lindgren dan Annie Frank, hingga mengenal Dewey dan sistem DDC-nya (Decimal Dewey Clasification) yang bayak digunakan sebagai pedoman klasifikasi koleksi pustaka di berbagai perpustakaan se Dunia. Wajar apabila Ruhr Nachrit menyebut buku ini sebagi sebuah surat cinta kepada buku dan dunia penulisan. Karena, sejak revolusi terbesar sejarah budaya aksara dengan ditemukannya teknik movable type—teknik mencetak buku dengan huruf bongkar pasang yang terbuat dari timah hitam—oleh J. Gutenberg pada abad XV persebaran buku dengan jumlah yang besar-besaran menjadi salah satu faktor utama terbentuknya sebuah peradaban megah manusia yang juga disinggung pada novel ini. Masyarakat dunia tentu lebih memberi apresiasi lebih kepada intelektulisme Athena dari pada meliterisme Sparta. Sebab, Athena lebih mampu melahirkan buku dari pada senjata tajam Sparta—walaupun temponya jauh dari masa Gutenberg, tetapi masyarakat dunia lebih menyadari signifikansi buku dari pada senjata.
Sayangnya, kedua penulis ini tampaknya masih menganggap perpustakaan hanya sebatas koleksi buku saja. Padahal, saat ini sudah banyak perpustakaan yang tidak hanya mengoleksi buku saja. Walau bagaimanapun, novel ini cukup inovatif-informatif dan kreatif untuk dibaca siapa saja khususnya remaja untuk (semakin) mencintai dunia baca-tulis. “Intrikasi teks” pada novel ini seyogyanya menjadi pemantik semangat baru untuk meningkatkan insting penjelajah pembaca yang tentunya sangat bermanfaat untuk menaklukkan dan mengendalikan teks. Filosof postmodernis asal Jacques Derrida menyebutnya sebagai teori metafisika-kehadiran.
Moh. Arif Rifqi adalah pencinta dan pemerhati buku yang sedang mengasuh Taman Baca Al-Jailani tinggal di Sumenep
Monday, June 11, 2007
Cerpen
Dar Der Dor Maimun Maimunah
Oleh: Moh. Arif Rifqi
Urat-urat leherku terasa tumpang tindih dan berjalin kelidan tak beraturan satu sama lain. Mobil kecil yang kutumpangi terlalu kecil untuk tubuhku yang tinggi namun kurus kerempeng. Jalan berbatu terus memaksa leherku menari dengan paksa. Tidak peduli keringat ataupun amarah, semua sama-sama keluar dari pori-pori kulit dan hatiku. Sekeranjang ikan yang tidak laku jual dan agak membusuk menambah pengap suasana mobil. Ditambah lagi sopir dan keneknya terus saja mengepulkan asap rokok sambil memutar keras-keras musik yang mereka anggap keren, tapi bagiku gaduh. Tidak apalah, dari pada janjiku dengan Maimunah gagal, aku paksakan diri pengap-pengap ria menuju kesegaran luar-dalam lewat suara dan wajahnya.
Setelah melewati tikungan terakhir, mobil Carry tua yang kutumpangi berhenti di bawah pohon yang sangat besar. Kemudian, satu persatu dari penumpang turun sambil memberikan recehan lima ratus rupiah ke tangan kenek.
“Lima ratus…lima ratus…lima ratus” teriak Kenek dengan irama sumbang.
“Masih ingat sisa uang yang kemarin?” tanyaku.
“Sip bos !” jawabnya. Kemarin, aku membayar uang seribu rupiah. Tapi, kata kenek “entar kalau ikut mobil ini lagi gratis”. Apa mungkin tidak ada kembaliannya atau ada maksud-maksud lain, aku tidak mau tahu.
Kupandangi pantai dengan debur ombak yang berirama melankolis dan sebatang pohon yang mati di dekat pantai namun tampaknya masih cukup kuat untuk kupanjat. Aku menatap liar hampir keseluruh penjuru pantai. Tampak nelayan tua membawa sekeranjang ikan hasil tangkapannya kemudian mendekatiku.
“Nak, ikan ini masih segar. Enak lho kalau dipanggang dan dimakan di sana ” ujarnya sambil menunjuk hutan kecil yang tertata rapi membentuk terowongan dari ranting-ranting dan dedaunan sehingga sedikit menutupi sinar matahari untuk lansung menyinari tanah.
“Terimakasih kek. Saya kurang berselera pagi ini. Lain waktu saja”
Kulit wajah nelayan tua itu tampak semakin mengkerut. Dia meninggalkanku dengan langkah tertatih-tatih. Mungkin karena ikan-ikan yang dibawanya terlalu berat.
Jam di arlojiku menunjukkan setengah delapan kurang sepuluh menit. Sepulu menit lagi Maimunah akan menepati janjinya untuk bersua denganku untuk bersua di hutan kecil itu. Aku melangkahkan kakiku dengan wajah sumringah. Terasa berat kakiku melangkah diatas pasir, ditambah lagi mentari dhuha yang menyengat, membuat pori-pori kulitku utamanya di wajah dan leherku basah dengan keringat.
“Ca’ Maimun !”suara itu melengking dari arah yang kutuju. Namun tidak jelas suara siapa itu. Jangan-jangan Maimunah.
Tiba-tiba mataku tertuju pada sosok anggun berbaju cokelat dengan kulit hitam manis; Maimunah melambaikan tangannya. Aku memutuskan untuk mempercepat langkahku; melawan pasir dan terik.
“Hah… ah…hah, kamu sudah lama menungguku di sini ?“ tanyaku terengah-engah.
“Tidak juga Ca’” untaian kata singkatnya telah mebekukan aroma api yang kurasa membakarku sejak tadi.
“Bagaimana Ca’, sudah siap melamarku. Aku kemarin sudah bilang sama ayah bahwa kamu hari ini akan datang melamarku. Makanya ayah tadi pagi—agak kesiangan sih—sudah pulang kerumah”
“Tentu Maimunah” jawabku.
Maimunah mengajakku berjalan melewati jalan pintas menyusuri hutan kecil itu. Terowongan hijau nan indah dan kicau burung nan merdu seakan-akan sedang menjadi irama romantis perjalanan kami. Namun tiba-tiba…
“Auw! Ca’” tubuh Maimunah spontan melompat ke tubuhku dan memelukku. Kontan saja aku kaget.
“Ah si Maulu. Kamu takut ?” tanyaku sambil menatap matanya yang bening memancarkan kesejukan yang dibalut kekhawatiran. Kemudian melepaskan pelukannya.
“Maaf Ca’, mengagetkan Caca’ ” ucapnya malu.
“Tidak apa-apa, mari kita lanjutkan perjalanan. Barangkali calon mertuaku tidak sabar menanti menantunya” ucapku.
Maimunah tersipu malu. Rona wajah yang semula redup kini bersinar lagi membias lembut hatiku setelah melewati prisma asmara di mataku dan membentuk pelangi di hatiku.
***
“Be..be..begini pak, maksud kedatangan saya kesini ingin melamar Maimunah” kontan saja perasaan gugupku kambuh tidak seperti baisanya. Nelayan tua yang tawaranya ku tolak tadi adalah ayah Maimunah.
“Siapa…siapa nama kamu?” tanyanya cepat. Tetapi matanya berpaling dari pandanganku.“Kamu sudah punya pekerjaan?” lanjutnya cepat.
“Maimum. Belum, tapi sebentar lagi akan menjadi nelayan juga” ucapku malu.
“O, begitu semoga saja ikan-ikan hasil tangkapanmu nanti laris.”
Suasana menjadi hening. Calon mertuaku tidak bersuara. Sementara Maimunah tampak mengintip-ngintip di jendela kamarnya. Aku tidak berani berbicara lagi. Sejurus rasa sungkan, malu, gugup, bahagia dan sahaja teraduk menjadikan detak jantungku semakin kencang saja. Tiba-tiba…
Dar der dor! Keheningan berubah jadi cekam. Dar der dor suara tembakan di luar semakin ramai.
“Pertahankan lahan kita… pertahankan lahan kita…” suara itu bergemuruh dan membuat calon mertuaku sontak kaget. Dan…
“Sebagai syarat lamaranmu diterima, kamu harus membantu warga menggagalkan proyek bendungan dan mengusir komplotan berbaju loreng itu dari desa ini” katanya sambil berdiri.
“Maksud Bapak?” tanyaku berani.
“Gagalkan proyek mereka, usir mereka dari desa ini baru kamu dapat melamar Maimunah. Ayo cepat!” ajaknya sambil mengambil senjata berbentuk tanda tanya yang digantung di dinding.
Aku tidak punya pilihan lain. Segera aku berlari keluar rumah dengan calon mertuaku. Sementara waktu, aku tidak mau peduli Maimunah; biarkan dulu sebentar saja, aku akan menjemputnya selamanya setelah aku berhasil mengusir mereka. Aku dan mertuaku berpisah di bawah pohon besar tempat mobil Carry yang kutumpangi berhenti; mertuaku pergi kearah para penduduk, dan dia menyuruhku menyusup ke gerombolan manusia berbaju loreng itu. Dar der dor semakin gencar. Sejenak aku melihat ke arah penduduk, belasan di antara mereka yang berdiri ada yang memegang dada, perut dan kepala masing-masing dengan darah mulai menetes dari bagian tubuh yang mereka pegang. Mereka mengerang kesakitan.
Aku mengendap-endap di belakang manusia berbaju loreng itu. Postur tubuhku kurus kerempeng mempermudah aku bersembunyi di bawah semak-semak dan di balik pepohonan yang besar. Sebenarnya aku tidak paham betul maksud dari konflik ini. Tetapi demi cintaku pada Maimunah, insya Allah mantap!.
“Pak penduduk masih melawan. Mereka sudah banyak yang tewas”
“Bagus paksa mereka. Tanah itu sudah milik kita mutlak !” kontan saja percakapan salah satu di antara mereka lewat ORARI ketika itu membuatku kaget. Dan aku sedikit mengerti bahwa lahanlah yang jadi rebutan. Bangsat! Aparat macam apa mereka yang melukai penduduk hanya karena rebutan tanah. Kulemparkan batu hitam yang agak besar di dekatku kearahnya. “Akh !”dia mengerang sakit. Lemparanku mengenai lehernya dan sedikit menyerempet di kepalanya. Darah segar kulihat mulai bercucuran. Tubuhnya tiba-tiba rebah. Sementara anggota yang lain menuju kerumah-rumah penduduk; meninggalkannya sendirian. Aku ambil ORARI itu dan kubantingkan ke batu besar itu dan brak ! slikon, resistor dan tombol-tombol berhamburan.
“Hei kurang ajar kamu” suara itu mengagetkanku. Dan dor !
“Akh !” jelas kulihat selongsong peluru keluar dari senapan itu, sementara anak pelurunya menembus siku-siku tangan kananku darah kulihat mulai menetes dari siku kananku.
Pltek…pltek… Suara senapan si loreng yang tampaknya kehabisan peluru. Matanya terbelak memandangiku. Tanpa pikir panjang, senjata si loreng yang kurubuhkan tadi kuambil dan rasakan…Dar der dor, darah mengalir deras dari dadanya. Lima tembakan pas di dadanya dan satu tembakan pas di jidatnya menjadikanku sebagai pembunuh yang sadis. Kegirangan, aku pun berteriak “ha… ha… ha…”
Tidak ada lagi si loreng menghampiriku. Hutan kecil itu sepi seketika. Sementara isak tangis dan raungan semakin keras dari rumah penduduk, semakin dekat pula aku menuju rumah Maimunah. Aku melihat dinding rumah itu berlobang di sana-sini bekas tembakan peluru.
Maimunah! Aku segera menghampiri kamarnya. Kulihat tubuhnya terbujur kaku diatas lantai. Sementara pas di ulu hatinya tangannya terkulai bersimbah darah. Oh tidak. Matanya tiba-tiba bergerak dan aku segera merangkulnya. “Maimunah kamu masih hidup?”
“Ca’ Mai…Mai…mun, pergilah ke Alastlogo Pasuruan. Di sana ada saudari kembarku. Kawinlah dengannya, cintailah dia seperti kamu mencintaiku…”suaranya tersendat-sendat. Tetapi, senyumnya masih mampu menyihir kelenjar air mataku dan deras mengalir turut membasahi ulu hatinya.Oh tidak.
Dengan sisa energi cinta yang menggunung, aku dengan lantang berteriak “Madura akulah darahmu ”. Walaupun aku bukan orang Madura tulen, tapi darah yang memancar dari nadiku dan menetes dari venaku ditambah lagi darah Maimunah turut membasahi; mendarah di bumi Madura.
Mayat bergelimpangan di mana-mana. Suara dar der dor telah berubah menjadi raungan dan tangis. Sementara di sudut Sekolah Dasar di dekat rumah Maimunah ada seorang anak kecil nan lugu bersuara “Bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Pasal…pasal berapa ya? O ya, pasal 33 ayat…ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945…ha…hafal hore !”
Candi, 2005-2007
Oleh: Moh. Arif Rifqi
Urat-urat leherku terasa tumpang tindih dan berjalin kelidan tak beraturan satu sama lain. Mobil kecil yang kutumpangi terlalu kecil untuk tubuhku yang tinggi namun kurus kerempeng. Jalan berbatu terus memaksa leherku menari dengan paksa. Tidak peduli keringat ataupun amarah, semua sama-sama keluar dari pori-pori kulit dan hatiku. Sekeranjang ikan yang tidak laku jual dan agak membusuk menambah pengap suasana mobil. Ditambah lagi sopir dan keneknya terus saja mengepulkan asap rokok sambil memutar keras-keras musik yang mereka anggap keren, tapi bagiku gaduh. Tidak apalah, dari pada janjiku dengan Maimunah gagal, aku paksakan diri pengap-pengap ria menuju kesegaran luar-dalam lewat suara dan wajahnya.
Setelah melewati tikungan terakhir, mobil Carry tua yang kutumpangi berhenti di bawah pohon yang sangat besar. Kemudian, satu persatu dari penumpang turun sambil memberikan recehan lima ratus rupiah ke tangan kenek.
“Lima ratus…lima ratus…lima ratus” teriak Kenek dengan irama sumbang.
“Masih ingat sisa uang yang kemarin?” tanyaku.
“Sip bos !” jawabnya. Kemarin, aku membayar uang seribu rupiah. Tapi, kata kenek “entar kalau ikut mobil ini lagi gratis”. Apa mungkin tidak ada kembaliannya atau ada maksud-maksud lain, aku tidak mau tahu.
Kupandangi pantai dengan debur ombak yang berirama melankolis dan sebatang pohon yang mati di dekat pantai namun tampaknya masih cukup kuat untuk kupanjat. Aku menatap liar hampir keseluruh penjuru pantai. Tampak nelayan tua membawa sekeranjang ikan hasil tangkapannya kemudian mendekatiku.
“Nak, ikan ini masih segar. Enak lho kalau dipanggang dan dimakan di sana ” ujarnya sambil menunjuk hutan kecil yang tertata rapi membentuk terowongan dari ranting-ranting dan dedaunan sehingga sedikit menutupi sinar matahari untuk lansung menyinari tanah.
“Terimakasih kek. Saya kurang berselera pagi ini. Lain waktu saja”
Kulit wajah nelayan tua itu tampak semakin mengkerut. Dia meninggalkanku dengan langkah tertatih-tatih. Mungkin karena ikan-ikan yang dibawanya terlalu berat.
Jam di arlojiku menunjukkan setengah delapan kurang sepuluh menit. Sepulu menit lagi Maimunah akan menepati janjinya untuk bersua denganku untuk bersua di hutan kecil itu. Aku melangkahkan kakiku dengan wajah sumringah. Terasa berat kakiku melangkah diatas pasir, ditambah lagi mentari dhuha yang menyengat, membuat pori-pori kulitku utamanya di wajah dan leherku basah dengan keringat.
“Ca’ Maimun !”suara itu melengking dari arah yang kutuju. Namun tidak jelas suara siapa itu. Jangan-jangan Maimunah.
Tiba-tiba mataku tertuju pada sosok anggun berbaju cokelat dengan kulit hitam manis; Maimunah melambaikan tangannya. Aku memutuskan untuk mempercepat langkahku; melawan pasir dan terik.
“Hah… ah…hah, kamu sudah lama menungguku di sini ?“ tanyaku terengah-engah.
“Tidak juga Ca’” untaian kata singkatnya telah mebekukan aroma api yang kurasa membakarku sejak tadi.
“Bagaimana Ca’, sudah siap melamarku. Aku kemarin sudah bilang sama ayah bahwa kamu hari ini akan datang melamarku. Makanya ayah tadi pagi—agak kesiangan sih—sudah pulang kerumah”
“Tentu Maimunah” jawabku.
Maimunah mengajakku berjalan melewati jalan pintas menyusuri hutan kecil itu. Terowongan hijau nan indah dan kicau burung nan merdu seakan-akan sedang menjadi irama romantis perjalanan kami. Namun tiba-tiba…
“Auw! Ca’” tubuh Maimunah spontan melompat ke tubuhku dan memelukku. Kontan saja aku kaget.
“Ah si Maulu. Kamu takut ?” tanyaku sambil menatap matanya yang bening memancarkan kesejukan yang dibalut kekhawatiran. Kemudian melepaskan pelukannya.
“Maaf Ca’, mengagetkan Caca’ ” ucapnya malu.
“Tidak apa-apa, mari kita lanjutkan perjalanan. Barangkali calon mertuaku tidak sabar menanti menantunya” ucapku.
Maimunah tersipu malu. Rona wajah yang semula redup kini bersinar lagi membias lembut hatiku setelah melewati prisma asmara di mataku dan membentuk pelangi di hatiku.
***
“Be..be..begini pak, maksud kedatangan saya kesini ingin melamar Maimunah” kontan saja perasaan gugupku kambuh tidak seperti baisanya. Nelayan tua yang tawaranya ku tolak tadi adalah ayah Maimunah.
“Siapa…siapa nama kamu?” tanyanya cepat. Tetapi matanya berpaling dari pandanganku.“Kamu sudah punya pekerjaan?” lanjutnya cepat.
“Maimum. Belum, tapi sebentar lagi akan menjadi nelayan juga” ucapku malu.
“O, begitu semoga saja ikan-ikan hasil tangkapanmu nanti laris.”
Suasana menjadi hening. Calon mertuaku tidak bersuara. Sementara Maimunah tampak mengintip-ngintip di jendela kamarnya. Aku tidak berani berbicara lagi. Sejurus rasa sungkan, malu, gugup, bahagia dan sahaja teraduk menjadikan detak jantungku semakin kencang saja. Tiba-tiba…
Dar der dor! Keheningan berubah jadi cekam. Dar der dor suara tembakan di luar semakin ramai.
“Pertahankan lahan kita… pertahankan lahan kita…” suara itu bergemuruh dan membuat calon mertuaku sontak kaget. Dan…
“Sebagai syarat lamaranmu diterima, kamu harus membantu warga menggagalkan proyek bendungan dan mengusir komplotan berbaju loreng itu dari desa ini” katanya sambil berdiri.
“Maksud Bapak?” tanyaku berani.
“Gagalkan proyek mereka, usir mereka dari desa ini baru kamu dapat melamar Maimunah. Ayo cepat!” ajaknya sambil mengambil senjata berbentuk tanda tanya yang digantung di dinding.
Aku tidak punya pilihan lain. Segera aku berlari keluar rumah dengan calon mertuaku. Sementara waktu, aku tidak mau peduli Maimunah; biarkan dulu sebentar saja, aku akan menjemputnya selamanya setelah aku berhasil mengusir mereka. Aku dan mertuaku berpisah di bawah pohon besar tempat mobil Carry yang kutumpangi berhenti; mertuaku pergi kearah para penduduk, dan dia menyuruhku menyusup ke gerombolan manusia berbaju loreng itu. Dar der dor semakin gencar. Sejenak aku melihat ke arah penduduk, belasan di antara mereka yang berdiri ada yang memegang dada, perut dan kepala masing-masing dengan darah mulai menetes dari bagian tubuh yang mereka pegang. Mereka mengerang kesakitan.
Aku mengendap-endap di belakang manusia berbaju loreng itu. Postur tubuhku kurus kerempeng mempermudah aku bersembunyi di bawah semak-semak dan di balik pepohonan yang besar. Sebenarnya aku tidak paham betul maksud dari konflik ini. Tetapi demi cintaku pada Maimunah, insya Allah mantap!.
“Pak penduduk masih melawan. Mereka sudah banyak yang tewas”
“Bagus paksa mereka. Tanah itu sudah milik kita mutlak !” kontan saja percakapan salah satu di antara mereka lewat ORARI ketika itu membuatku kaget. Dan aku sedikit mengerti bahwa lahanlah yang jadi rebutan. Bangsat! Aparat macam apa mereka yang melukai penduduk hanya karena rebutan tanah. Kulemparkan batu hitam yang agak besar di dekatku kearahnya. “Akh !”dia mengerang sakit. Lemparanku mengenai lehernya dan sedikit menyerempet di kepalanya. Darah segar kulihat mulai bercucuran. Tubuhnya tiba-tiba rebah. Sementara anggota yang lain menuju kerumah-rumah penduduk; meninggalkannya sendirian. Aku ambil ORARI itu dan kubantingkan ke batu besar itu dan brak ! slikon, resistor dan tombol-tombol berhamburan.
“Hei kurang ajar kamu” suara itu mengagetkanku. Dan dor !
“Akh !” jelas kulihat selongsong peluru keluar dari senapan itu, sementara anak pelurunya menembus siku-siku tangan kananku darah kulihat mulai menetes dari siku kananku.
Pltek…pltek… Suara senapan si loreng yang tampaknya kehabisan peluru. Matanya terbelak memandangiku. Tanpa pikir panjang, senjata si loreng yang kurubuhkan tadi kuambil dan rasakan…Dar der dor, darah mengalir deras dari dadanya. Lima tembakan pas di dadanya dan satu tembakan pas di jidatnya menjadikanku sebagai pembunuh yang sadis. Kegirangan, aku pun berteriak “ha… ha… ha…”
Tidak ada lagi si loreng menghampiriku. Hutan kecil itu sepi seketika. Sementara isak tangis dan raungan semakin keras dari rumah penduduk, semakin dekat pula aku menuju rumah Maimunah. Aku melihat dinding rumah itu berlobang di sana-sini bekas tembakan peluru.
Maimunah! Aku segera menghampiri kamarnya. Kulihat tubuhnya terbujur kaku diatas lantai. Sementara pas di ulu hatinya tangannya terkulai bersimbah darah. Oh tidak. Matanya tiba-tiba bergerak dan aku segera merangkulnya. “Maimunah kamu masih hidup?”
“Ca’ Mai…Mai…mun, pergilah ke Alastlogo Pasuruan. Di sana ada saudari kembarku. Kawinlah dengannya, cintailah dia seperti kamu mencintaiku…”suaranya tersendat-sendat. Tetapi, senyumnya masih mampu menyihir kelenjar air mataku dan deras mengalir turut membasahi ulu hatinya.Oh tidak.
Dengan sisa energi cinta yang menggunung, aku dengan lantang berteriak “Madura akulah darahmu ”. Walaupun aku bukan orang Madura tulen, tapi darah yang memancar dari nadiku dan menetes dari venaku ditambah lagi darah Maimunah turut membasahi; mendarah di bumi Madura.
Mayat bergelimpangan di mana-mana. Suara dar der dor telah berubah menjadi raungan dan tangis. Sementara di sudut Sekolah Dasar di dekat rumah Maimunah ada seorang anak kecil nan lugu bersuara “Bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Pasal…pasal berapa ya? O ya, pasal 33 ayat…ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945…ha…hafal hore !”
Candi, 2005-2007
Thursday, May 17, 2007
Oca' Sapa
REINTEGRASI SISTEM PENDIDIKAN
Oleh : Moh. Arif Rifqi*
Idealitas sistem pendidikan terlihat dari korelatifitas-harmonis unsur-unsur pendidikan yang kemudian mejadi kesatuan integral dalam mewujudkan visi dan misi umum pada proses pendewasaan weltanschaung dan pola pikir suatu bangsa. Secara fisik, bagus-tidaknya sebuah sistem pendidikan dapat dilihat dari terpenuhinya infrastrukutur-infrastruktur aktif maupun pasif, dan lahirnya alumni yang berintelektual, beremosional, serta berintrelektual quoetion yang tangguh dan "pragmatis" menjadi tolak ukur secara non-fisik.
Akhir-akhir ini, sistem pendidikan di indonesia , melalui putra-putra bangsa telah banyak menoreh prestasi-prestasi gemilang—terutama di bidang sains—di tingkat internasional. Akan tetapi, tanpa disadari ada kecemburuan-kecemburuan kecil yang tak terungkapkan dari lembaga-lembaga pendidikan yang terkategori sangat sederhana. Mereka berasumsi bahwa spesialisasi peningkatan mutu pendidikan hanya berkutat pada lembaga-lembaga pendidikan elit.
Sementara itu ke-amburadulan kondisi pendidikan di tingkat bawah (pelosok) masih banyak lembaga-lembaga pendidikan yang bermodal keikhlasan, fasilitas, dan sarana pra-sarana, serta infrastuktur ala kadarnya saja. Tak ayal dijumpai di daerah pelosok sekolah-sekolah yang tidak bertap, tidak berbangku, dan kondisi memprihatinkan lainnya. Sehingga ketidsak-merataan kualitas dan kesadaran pendidikan tidak hanya dipengaruhi oleh sosialisasi yang kurang terserap baik, tapi, juga dipengaruhi oleh faktor fisik.
Sejak aktifisasi otonumi daerah, lembaga-lembaga pendidikan ala kadar tersebut mulai mendapat perhatian dari pemerintah setempat khususnya. Salah satunya, dengan manifestasi kepedulian berupa BKG, BKM, BKS, yang secara umum mempunyai tujuan meningkatkan kualitas pendidikan menjadi lebih baik, setahap demi setahap (metamorfosis penyetaraan). Pada mulanya, bantuan-bantuan tersebut tersalur dengan baik. Akan tetapi, pengakaran budaya korupsi dan mental mata duitan beberpa aktor pendidikan, justeru menjadikan momen tersebut sebagai kesempatan untuk meraup keuntungan pribadi. Kasus semacam ini selain menjadi parasit bagi sitematika dan sistimatika perbaikan kondisi pendidiakan indonesia , juga menjadi wujud ketidak-bersyukuran yang bisa berujung pada laknat yang barangkali akan dibahasakan ujian dari Tuhan.
Mulianya visi dan misi pendidikan mulai berbalik arah pada pembuatan "perusahaan" MI, SD, Tk dan lain sebagianya. Kasus-kasus korupsi dana bantuan sekolah sering terjadi pada lembaga-lembaga pelosok yang ternyata belum begitu siap "memegang dan mengelola uang banyak". Sehingga muncullah upaya rekrutmen anak didik dengan cara yang tidak baik. Akan tetapi, bukan berarti steril untuk lembaga-lembaga elit—umumnya diperkotaan. Justeru ada kemungkian untuk penyembunyian fakta sesamar mungkin.
Walaupun kontrol yang dilakukan pemerintah bisa dikatakan cukup baik. Akan tetapi, kolektifitas dan ke-akuratan data masih bersifat umum dan kolektif. Apalagi campur aduk pers kadangkala manyisakan kisah kelabu dangan iming-iming uang dan lain sebagainya. Sementara itu masyarakat tidak bisa berbuat banyak. Karena acap kali masyarkat kurang mendapat informasi dan kurang sadar tentang bantuan-bantuan tersebut—khususnya dipelosok.
Dengan demikian perlu dirasa adanya kesadaran-praksis dari semua elemen penting pendidikan. Seperti, Guru, pengelola lembaga, anak didik, masyarakat dan pemerintah, dengan lebih meningkatkan kualitas kejujuran, keterbukaan, keharmonisan, dan integralitas sebagai sebuah tatanan dengan visi dan misi mulia.
Seperti petuah Ki hajar Dewantara "Ing ngarso song toludo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani", manifestasi dan aplikasi integralitas multi sisi, selain menjadi konstruksi sistim pendidikan yang ideal, juga bisa menjadi obat bagi sistem pendidikan yang sedang sakit.
Signifikansi dan mulianya visi, misi dan manfaat pendidiakan, ketika dikotori oleh Dajjal yang berkedok Isa, berarti sudah ada di ujung tanduk. Tentunya ini adalah tanggung jawab kita bersama.
*Penulis adalah aktifis Forum Silaturrahiem Santri Dan Masyarakat (FOSSMA)
Oleh : Moh. Arif Rifqi*
Idealitas sistem pendidikan terlihat dari korelatifitas-harmonis unsur-unsur pendidikan yang kemudian mejadi kesatuan integral dalam mewujudkan visi dan misi umum pada proses pendewasaan weltanschaung dan pola pikir suatu bangsa. Secara fisik, bagus-tidaknya sebuah sistem pendidikan dapat dilihat dari terpenuhinya infrastrukutur-infrastruktur aktif maupun pasif, dan lahirnya alumni yang berintelektual, beremosional, serta berintrelektual quoetion yang tangguh dan "pragmatis" menjadi tolak ukur secara non-fisik.
Akhir-akhir ini, sistem pendidikan di indonesia , melalui putra-putra bangsa telah banyak menoreh prestasi-prestasi gemilang—terutama di bidang sains—di tingkat internasional. Akan tetapi, tanpa disadari ada kecemburuan-kecemburuan kecil yang tak terungkapkan dari lembaga-lembaga pendidikan yang terkategori sangat sederhana. Mereka berasumsi bahwa spesialisasi peningkatan mutu pendidikan hanya berkutat pada lembaga-lembaga pendidikan elit.
Sementara itu ke-amburadulan kondisi pendidikan di tingkat bawah (pelosok) masih banyak lembaga-lembaga pendidikan yang bermodal keikhlasan, fasilitas, dan sarana pra-sarana, serta infrastuktur ala kadarnya saja. Tak ayal dijumpai di daerah pelosok sekolah-sekolah yang tidak bertap, tidak berbangku, dan kondisi memprihatinkan lainnya. Sehingga ketidsak-merataan kualitas dan kesadaran pendidikan tidak hanya dipengaruhi oleh sosialisasi yang kurang terserap baik, tapi, juga dipengaruhi oleh faktor fisik.
Sejak aktifisasi otonumi daerah, lembaga-lembaga pendidikan ala kadar tersebut mulai mendapat perhatian dari pemerintah setempat khususnya. Salah satunya, dengan manifestasi kepedulian berupa BKG, BKM, BKS, yang secara umum mempunyai tujuan meningkatkan kualitas pendidikan menjadi lebih baik, setahap demi setahap (metamorfosis penyetaraan). Pada mulanya, bantuan-bantuan tersebut tersalur dengan baik. Akan tetapi, pengakaran budaya korupsi dan mental mata duitan beberpa aktor pendidikan, justeru menjadikan momen tersebut sebagai kesempatan untuk meraup keuntungan pribadi. Kasus semacam ini selain menjadi parasit bagi sitematika dan sistimatika perbaikan kondisi pendidiakan indonesia , juga menjadi wujud ketidak-bersyukuran yang bisa berujung pada laknat yang barangkali akan dibahasakan ujian dari Tuhan.
Mulianya visi dan misi pendidikan mulai berbalik arah pada pembuatan "perusahaan" MI, SD, Tk dan lain sebagianya. Kasus-kasus korupsi dana bantuan sekolah sering terjadi pada lembaga-lembaga pelosok yang ternyata belum begitu siap "memegang dan mengelola uang banyak". Sehingga muncullah upaya rekrutmen anak didik dengan cara yang tidak baik. Akan tetapi, bukan berarti steril untuk lembaga-lembaga elit—umumnya diperkotaan. Justeru ada kemungkian untuk penyembunyian fakta sesamar mungkin.
Walaupun kontrol yang dilakukan pemerintah bisa dikatakan cukup baik. Akan tetapi, kolektifitas dan ke-akuratan data masih bersifat umum dan kolektif. Apalagi campur aduk pers kadangkala manyisakan kisah kelabu dangan iming-iming uang dan lain sebagainya. Sementara itu masyarakat tidak bisa berbuat banyak. Karena acap kali masyarkat kurang mendapat informasi dan kurang sadar tentang bantuan-bantuan tersebut—khususnya dipelosok.
Dengan demikian perlu dirasa adanya kesadaran-praksis dari semua elemen penting pendidikan. Seperti, Guru, pengelola lembaga, anak didik, masyarakat dan pemerintah, dengan lebih meningkatkan kualitas kejujuran, keterbukaan, keharmonisan, dan integralitas sebagai sebuah tatanan dengan visi dan misi mulia.
Seperti petuah Ki hajar Dewantara "Ing ngarso song toludo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani", manifestasi dan aplikasi integralitas multi sisi, selain menjadi konstruksi sistim pendidikan yang ideal, juga bisa menjadi obat bagi sistem pendidikan yang sedang sakit.
Signifikansi dan mulianya visi, misi dan manfaat pendidiakan, ketika dikotori oleh Dajjal yang berkedok Isa, berarti sudah ada di ujung tanduk. Tentunya ini adalah tanggung jawab kita bersama.
*Penulis adalah aktifis Forum Silaturrahiem Santri Dan Masyarakat (FOSSMA)
Wednesday, May 9, 2007
Cerita Bahari
Bantal Ombak
Oleh: Moh. Arif Rifqi
Seperti misteri subuh
Engkau menapaki renta gemuruh
Melukis aura di keramaian yang kuanggap sepi; sunyi
Menikam kemurtadan dan mempertanyakan, siapa yang telah mengajariku nakal?
Bahari, Begitu aku lebih mengenalmu laut, dari pada nama-nama yang orang lain sandangkan kepadamu. Luasmu mengingatkanku akan luasnya sebuah persahabatan antara manusia tempat kesatu dan manusia tempat ketiga. Persahabatan yang luas, bening-kebiruan, jujur, eksplosif dan supel.
Sejujurnya, tidak ada keraguan dan rasa canggung yang aku tampakkan, murni dan jujur bersumber dari nuraniku yang terdasar. Hanya saja, gontai dan gemulai sebuah tatanan yang memisahkan, membuatku gagap, gugup, dan selalu salah tingkah di depan kalian. Dengan arif, kalian menganggapnya sebagai metamorfosa di luar musim.
Zeitgist bahari yang kini menginfiltrasi dan menciptakan intrikasi yang kompleks di dadaku, membuatku selalu meratapi setiap perbuatan baikku dan menertawakan setiap dosaku. Aku tidak bermaksud merubah dan membalikkan realitas lazim di dunia ini—itupun kalau ada. Aku hanya mencoba mengaplikasikan setahap demi setahap sebuah hadits qudsi yang di riwayatkan sang Karomahuwajhah,
Siapa yang mencari Aku akan menemukan Aku. Siapa yang menemukan Aku akan mengenal Aku. Siapa yang mengenal Aku akan mencitai Aku. Siapa yang mencintai Aku akan Aku bunuh. Siapa yang Aku bunuh akan Aku bangkitkan. Siapa yang Aku bangkitkan Aku sendirilah kebangkitannya***
Internet Explore, http://mail.telkom.net, kacang_sukro,*******,Go
Di kotak Inbox ada email berbintang terang, dengan dari judden@yahoo.co.id, subject Hai Kacang Sukro, klik kanan, open
Assalamu’alaikum Kacang Sukro
Apa kabar nih ?sudah lama tidak kelihatan batang hidungnya?
Sakit ya? Semoga saja Tidak.
Aku sekarang jarang beli kacang sukro lagi
Habis setelah makan kacang sukro, gigiku sakit
‘n kami W9 kangen sama kalian disitu (totem proparte)
Wassalam
“Mas yang di PC 3, waktu anda sudah habis, ada yang mau ganti” operator memperingatiku.
Setelah kubayar uang sewa rental internet, akupun bergegas meninggalkan warnet. Aku baru ingat bahwa aku punya janji dengan Ummi. Aku masih harus kerumah paman di pulau sebelah, mengantarkan bingkisan kue dari Pak Isun, guru sekaligus sahabat curhatku.
“Ayies, aku juga kangen sama kalian (totem proparte-nya). Aku tidak akan membalas emailmu. Tapi, aku akan langsung menemuimu dengan Ummiku. Suatu saat nanti, pasti aku usahakan”Celetuk hatiku.
Setelah iqomah dibacakan di surau dekat tempat aku berjalan, aku menghampirinya dan salat Ashar berjamaah di sana. Kemudian aku melanjutkan perjalanan ke rumah Paman. Melewati bahari kemilau nan biru, aku semakan teringat kalian.
***
Hari Berikutnya...
Mentari pagi menerobos liar di teras ungu jendela kamarku. Jarum jam berdetak sendu dan teratur memutar perjalanan sang waktu sedikit demi sedikit; sabar. O, taman, laut nan permai. Temani kesegaran fikiranku pagi ini dengan segelas susu yang di sajikan Ummi di meja kecil di kamarku.
Astaga ! scrensever bergambar Paman Gober ternyata masih menghiasi layar komputerku. Apakah tadi malam aku lupa mematikannya, atau Afifah, adik kecilku tadi pagi main game saat aku maih tertidur pulas dan sengaja tidak mematikannya, atau juga Ummi tadi pagi meminjam untuk mengambil data rekapitulasi keuanggan PKK yang tadi malam kuketik, atau... Tidak tau pastilah aku. Semoga ini bukan kesalahan yang samar.
Tersisa belasan ATP, energi di tubuhku mencoba melangkahkan kaki menuju komputer pribadiku dan aku menemukan sebuah daun kering bertuliskan instruksi buka Windows Explore, Power Point File, Ayies, open, dan slide show. Penting !
“Sepertinya aku kenal tulisan ini” ucapku lirih “aku kenal tulisan ini di tempat jauh, tapi di mana?”aku mencoba acuh tak acuh.
Setelah kulakukan perintah seperti yang di instruksikan, kemudian...
Klik!, suara mouse kutekan
Selamat pagi kacang Sukro
Semalam aku mencoba menghubungi nomer Hpmu, tapi tidak aktif. Degan indra yang patang kuceritakan sistem kerjanya,aku menulis ini jujur dengan rasa rindu yang tersisa dari kekesalan
Barang kali belum begitu ikhlas membantuku menghajarmu tadi malam. Tapi, dengan keringat yang tersisa di pori-pori kulitku, aku tahu bahwa kamu sedang pulas dengan Melly, kucing loyalmu
Kacang sukro,
Aku ingin ketemu kamu; kalian totem proparte-nya.
Dengan template blends dan slide animation neotron, tulisan dengan fase slide dua detik itu terpresentrasi dan sementara ini kuanggap aneh; melayang-untai hingga aku tekan tombol Esc pada keyboardku untuk kembali kebentuk semula. Maksud dia apa?
“Hafid, ada telepon dari Alif. Penting katanya.” Tiba-tiba, tanda tanyaku runtuh. Suara ummi mengalun sendu dari ruangan tengah.
“tunggu ‘Mi” jawabku seraya secepat mungkin aku keluar dari kamar dan sesopan mungkin aku meraih gagang telepon yang ibu sulurkan kepadaku.
“ada apa ‘Lif...?” tanyaku ketus.
“gawat ‘Fid...gawat. Kamu harus kesekolah sekarang” senggal-senggal nafas Alif begitu jelas mengotori suaranya di telepon.
“tenang kok tidak ada apa-apa. Tunggu aku lima belas menit lagi di sekolah”
“eh! ‘nggak nyambung nih orang. Ini benar-benar gawat ‘Fid!”
“aku ngerti ‘Lif. Kamu tidak jelas gawatnya apaan. Jadi, wajarkan kalau aku juga tidak jelas tenangnya apaan. Sudah, tunggu saja, aku segera kesana lima belas menit lagi”
“ ‘Fid, segerombolan anak muda mencarimu sambil membawa pentungan dan godam. Mereka ada di depan sekolah sekarang; menunggu kedatanganmu. Tapi, tampaknya mereka siap-siap menuju kerumah kamu sekarang.”
Brak! Telepon serentak aku tutup. Aku berlari keluar dari rumah dengan sisa rapi dandanan dan energiku, aku menengok ke arah sekolah. Tidak jauh, sekitar 300 meter dari rumahku. Tampak jelas monster putih abu-abu itu sedang berjalan ke arahku. Gawat!
Entah energi apa yang aku pakai. Selemah ini aku masih sanggup berlari cepat ke arah mereka. Aku tidak mau mereka ribut di rumah atau di sekolahku. Akhirnya...
“tunggu! Kalian mencari aku? Kesini!” aku membawa mereka ke padang sawah yang penuh dengan tanaman padi yang hampir panen, sekitar 200 meter dari rumahku dan 100 meter dari sekolahku. Mudah-mudahan cukup jauh.
“kamu yang bernama Sukran Hafidy?” tanya seorang yang jangkung di antara mereka bertiga.
“benar!”kulihat salah satu dari mereka yang bertubuh panter mengayun-ayunkan godam; seram.
“kami datang kesini ingin membawa pulang Ayies. Dia kabur dari tempat ketiga dan kami memprediksi dia pergi ke rumahmu. Kami tahu banyak tentang kamu dari diary pink yang tertinggal di kamarnya. Dia menulis banyak tentang perasaannya kepadamu.
Otomatis, disana kami tahu banyak tentang kamu. Termasuk foto, alamat rumah dan sekolahmu. Walaupun kami beda dimensi, demi kami ketundukan kami kepada tuan Ali, ayah Ayies, kami susah payah datang kesini.
Kami harap kedatangan kami tidak berbuah kesia-siaan. Sebab, kalau tidak, eksistensi dan esensi kami akan di cabut, dan kami kembali menjadi gipsi-gipsi”. Di luar dugaanku sebelumnya, kegarangan yang mereka tampakkan dari jauh, ternyata tak lain terdapat ketidakberdayaan di bawah otoritas dan ortodoksi musuh lamaku, Ali.
“Aku mengerti maksud, perasaan dan posisi kalian saat ini. Akan tetapi, perlu kalian ketahui...” aku pun menceritakan kejadian pagi itu di komputerku. “...aku harap kalian juga menghargaiku. Silakan kalian gunakan indra ke-enam kalian untuk meneropong isi hatiku. Semoga kalian berhasil dan kalain akan tahu bahwa aku jujur”.
Mereka terdiam. Angin tornado kecil-kecilan melibas tanaman padi yang hampir panen. Tiba-tiba langit mendung, petir bergemuruh, tanah yang kupijak bergetar semakin dahsyat, dan angin itu semakan ganas pula. Mereka memegang telinga dan mengerang kesakitan. Namun, mereka tidak roboh. Apakah karena mereka tidak dirobohkan biar semakin tersiksa oleh gelombang metasonik, atau mereka masih cukup kuat menahannya.
“Zslzmn kzlo, kllzmkn; kbnouym!” barangkali seperti itu suara yang dapat telingaku tangkap dari mulut mereka.
Tiba-tiba tubuhku yang juga ikut terguncang hampir kehilangan keseimbangan. Andai saja eksperimenku untuk menemukan anti gravitasi berhasil, goncangan ini tidak akan berarti. Aku mencoba semadi dengan sisa energiku; gontai. Langit menyempit; merendah. Pandanganku sesak oleh kabut-kabut. Aura yang kupancarkan tidak cukup untuk menerangi sekitarku.
Kakiku bergetar dan bergerak melebar kesamping. Pertanda, tanah yang kuinjak membelah dengan pelan-pelan. Kalau sampai aku bersuara, maka aku kalah. Gemuruh petir juga semakin dahsyat membuat telingaku sesak. Kelebat-kelebat sosok hitam mengitariku; mesterius seperti ninja. Mereka malang-melintang liar di samping, di atas, dan di bawah tubuhku yang terbuka. Mareka seolah-olah membisikkan daftar kesalahanku sedetail mungkin. Aku mencoba membantah dengan bahasa batinku. Namun aku tiba lemah ketika mantra andalanku “selalu tanda tanya, tidak pernah tanda seru” takluk pada mantra mereka “selalu koma, tidak pernah titik” tidak tidak mampu berbuat banyak. Dan...
Aku sadar tubuhku sudah terbelah empat. Plesetku, untuk tempat kesatu, satu belahan dan tiga belahan untuk tempat ketiga. Benarkah?
Gelombang laut nan besar membentuk tiga gundukan yang beranak-pinak menjadi sembilan dan satu gundukan besar yang beranak tiga; menimbulkan suara yang khas. Untuk semuanya, ma’afkan ku. “Akh! Siapa yang telah mengajariku nakal?" suara terakhirku. Dan gelap!
Mulya Nusantara, Kamal, 2007
Oleh: Moh. Arif Rifqi
Seperti misteri subuh
Engkau menapaki renta gemuruh
Melukis aura di keramaian yang kuanggap sepi; sunyi
Menikam kemurtadan dan mempertanyakan, siapa yang telah mengajariku nakal?
Bahari, Begitu aku lebih mengenalmu laut, dari pada nama-nama yang orang lain sandangkan kepadamu. Luasmu mengingatkanku akan luasnya sebuah persahabatan antara manusia tempat kesatu dan manusia tempat ketiga. Persahabatan yang luas, bening-kebiruan, jujur, eksplosif dan supel.
Sejujurnya, tidak ada keraguan dan rasa canggung yang aku tampakkan, murni dan jujur bersumber dari nuraniku yang terdasar. Hanya saja, gontai dan gemulai sebuah tatanan yang memisahkan, membuatku gagap, gugup, dan selalu salah tingkah di depan kalian. Dengan arif, kalian menganggapnya sebagai metamorfosa di luar musim.
Zeitgist bahari yang kini menginfiltrasi dan menciptakan intrikasi yang kompleks di dadaku, membuatku selalu meratapi setiap perbuatan baikku dan menertawakan setiap dosaku. Aku tidak bermaksud merubah dan membalikkan realitas lazim di dunia ini—itupun kalau ada. Aku hanya mencoba mengaplikasikan setahap demi setahap sebuah hadits qudsi yang di riwayatkan sang Karomahuwajhah,
Siapa yang mencari Aku akan menemukan Aku. Siapa yang menemukan Aku akan mengenal Aku. Siapa yang mengenal Aku akan mencitai Aku. Siapa yang mencintai Aku akan Aku bunuh. Siapa yang Aku bunuh akan Aku bangkitkan. Siapa yang Aku bangkitkan Aku sendirilah kebangkitannya***
Internet Explore, http://mail.telkom.net, kacang_sukro,*******,Go
Di kotak Inbox ada email berbintang terang, dengan dari judden@yahoo.co.id, subject Hai Kacang Sukro, klik kanan, open
Assalamu’alaikum Kacang Sukro
Apa kabar nih ?sudah lama tidak kelihatan batang hidungnya?
Sakit ya? Semoga saja Tidak.
Aku sekarang jarang beli kacang sukro lagi
Habis setelah makan kacang sukro, gigiku sakit
‘n kami W9 kangen sama kalian disitu (totem proparte)
Wassalam
“Mas yang di PC 3, waktu anda sudah habis, ada yang mau ganti” operator memperingatiku.
Setelah kubayar uang sewa rental internet, akupun bergegas meninggalkan warnet. Aku baru ingat bahwa aku punya janji dengan Ummi. Aku masih harus kerumah paman di pulau sebelah, mengantarkan bingkisan kue dari Pak Isun, guru sekaligus sahabat curhatku.
“Ayies, aku juga kangen sama kalian (totem proparte-nya). Aku tidak akan membalas emailmu. Tapi, aku akan langsung menemuimu dengan Ummiku. Suatu saat nanti, pasti aku usahakan”Celetuk hatiku.
Setelah iqomah dibacakan di surau dekat tempat aku berjalan, aku menghampirinya dan salat Ashar berjamaah di sana. Kemudian aku melanjutkan perjalanan ke rumah Paman. Melewati bahari kemilau nan biru, aku semakan teringat kalian.
***
Hari Berikutnya...
Mentari pagi menerobos liar di teras ungu jendela kamarku. Jarum jam berdetak sendu dan teratur memutar perjalanan sang waktu sedikit demi sedikit; sabar. O, taman, laut nan permai. Temani kesegaran fikiranku pagi ini dengan segelas susu yang di sajikan Ummi di meja kecil di kamarku.
Astaga ! scrensever bergambar Paman Gober ternyata masih menghiasi layar komputerku. Apakah tadi malam aku lupa mematikannya, atau Afifah, adik kecilku tadi pagi main game saat aku maih tertidur pulas dan sengaja tidak mematikannya, atau juga Ummi tadi pagi meminjam untuk mengambil data rekapitulasi keuanggan PKK yang tadi malam kuketik, atau... Tidak tau pastilah aku. Semoga ini bukan kesalahan yang samar.
Tersisa belasan ATP, energi di tubuhku mencoba melangkahkan kaki menuju komputer pribadiku dan aku menemukan sebuah daun kering bertuliskan instruksi buka Windows Explore, Power Point File, Ayies, open, dan slide show. Penting !
“Sepertinya aku kenal tulisan ini” ucapku lirih “aku kenal tulisan ini di tempat jauh, tapi di mana?”aku mencoba acuh tak acuh.
Setelah kulakukan perintah seperti yang di instruksikan, kemudian...
Klik!, suara mouse kutekan
Selamat pagi kacang Sukro
Semalam aku mencoba menghubungi nomer Hpmu, tapi tidak aktif. Degan indra yang patang kuceritakan sistem kerjanya,aku menulis ini jujur dengan rasa rindu yang tersisa dari kekesalan
Barang kali belum begitu ikhlas membantuku menghajarmu tadi malam. Tapi, dengan keringat yang tersisa di pori-pori kulitku, aku tahu bahwa kamu sedang pulas dengan Melly, kucing loyalmu
Kacang sukro,
Aku ingin ketemu kamu; kalian totem proparte-nya.
Dengan template blends dan slide animation neotron, tulisan dengan fase slide dua detik itu terpresentrasi dan sementara ini kuanggap aneh; melayang-untai hingga aku tekan tombol Esc pada keyboardku untuk kembali kebentuk semula. Maksud dia apa?
“Hafid, ada telepon dari Alif. Penting katanya.” Tiba-tiba, tanda tanyaku runtuh. Suara ummi mengalun sendu dari ruangan tengah.
“tunggu ‘Mi” jawabku seraya secepat mungkin aku keluar dari kamar dan sesopan mungkin aku meraih gagang telepon yang ibu sulurkan kepadaku.
“ada apa ‘Lif...?” tanyaku ketus.
“gawat ‘Fid...gawat. Kamu harus kesekolah sekarang” senggal-senggal nafas Alif begitu jelas mengotori suaranya di telepon.
“tenang kok tidak ada apa-apa. Tunggu aku lima belas menit lagi di sekolah”
“eh! ‘nggak nyambung nih orang. Ini benar-benar gawat ‘Fid!”
“aku ngerti ‘Lif. Kamu tidak jelas gawatnya apaan. Jadi, wajarkan kalau aku juga tidak jelas tenangnya apaan. Sudah, tunggu saja, aku segera kesana lima belas menit lagi”
“ ‘Fid, segerombolan anak muda mencarimu sambil membawa pentungan dan godam. Mereka ada di depan sekolah sekarang; menunggu kedatanganmu. Tapi, tampaknya mereka siap-siap menuju kerumah kamu sekarang.”
Brak! Telepon serentak aku tutup. Aku berlari keluar dari rumah dengan sisa rapi dandanan dan energiku, aku menengok ke arah sekolah. Tidak jauh, sekitar 300 meter dari rumahku. Tampak jelas monster putih abu-abu itu sedang berjalan ke arahku. Gawat!
Entah energi apa yang aku pakai. Selemah ini aku masih sanggup berlari cepat ke arah mereka. Aku tidak mau mereka ribut di rumah atau di sekolahku. Akhirnya...
“tunggu! Kalian mencari aku? Kesini!” aku membawa mereka ke padang sawah yang penuh dengan tanaman padi yang hampir panen, sekitar 200 meter dari rumahku dan 100 meter dari sekolahku. Mudah-mudahan cukup jauh.
“kamu yang bernama Sukran Hafidy?” tanya seorang yang jangkung di antara mereka bertiga.
“benar!”kulihat salah satu dari mereka yang bertubuh panter mengayun-ayunkan godam; seram.
“kami datang kesini ingin membawa pulang Ayies. Dia kabur dari tempat ketiga dan kami memprediksi dia pergi ke rumahmu. Kami tahu banyak tentang kamu dari diary pink yang tertinggal di kamarnya. Dia menulis banyak tentang perasaannya kepadamu.
Otomatis, disana kami tahu banyak tentang kamu. Termasuk foto, alamat rumah dan sekolahmu. Walaupun kami beda dimensi, demi kami ketundukan kami kepada tuan Ali, ayah Ayies, kami susah payah datang kesini.
Kami harap kedatangan kami tidak berbuah kesia-siaan. Sebab, kalau tidak, eksistensi dan esensi kami akan di cabut, dan kami kembali menjadi gipsi-gipsi”. Di luar dugaanku sebelumnya, kegarangan yang mereka tampakkan dari jauh, ternyata tak lain terdapat ketidakberdayaan di bawah otoritas dan ortodoksi musuh lamaku, Ali.
“Aku mengerti maksud, perasaan dan posisi kalian saat ini. Akan tetapi, perlu kalian ketahui...” aku pun menceritakan kejadian pagi itu di komputerku. “...aku harap kalian juga menghargaiku. Silakan kalian gunakan indra ke-enam kalian untuk meneropong isi hatiku. Semoga kalian berhasil dan kalain akan tahu bahwa aku jujur”.
Mereka terdiam. Angin tornado kecil-kecilan melibas tanaman padi yang hampir panen. Tiba-tiba langit mendung, petir bergemuruh, tanah yang kupijak bergetar semakin dahsyat, dan angin itu semakan ganas pula. Mereka memegang telinga dan mengerang kesakitan. Namun, mereka tidak roboh. Apakah karena mereka tidak dirobohkan biar semakin tersiksa oleh gelombang metasonik, atau mereka masih cukup kuat menahannya.
“Zslzmn kzlo, kllzmkn; kbnouym!” barangkali seperti itu suara yang dapat telingaku tangkap dari mulut mereka.
Tiba-tiba tubuhku yang juga ikut terguncang hampir kehilangan keseimbangan. Andai saja eksperimenku untuk menemukan anti gravitasi berhasil, goncangan ini tidak akan berarti. Aku mencoba semadi dengan sisa energiku; gontai. Langit menyempit; merendah. Pandanganku sesak oleh kabut-kabut. Aura yang kupancarkan tidak cukup untuk menerangi sekitarku.
Kakiku bergetar dan bergerak melebar kesamping. Pertanda, tanah yang kuinjak membelah dengan pelan-pelan. Kalau sampai aku bersuara, maka aku kalah. Gemuruh petir juga semakin dahsyat membuat telingaku sesak. Kelebat-kelebat sosok hitam mengitariku; mesterius seperti ninja. Mereka malang-melintang liar di samping, di atas, dan di bawah tubuhku yang terbuka. Mareka seolah-olah membisikkan daftar kesalahanku sedetail mungkin. Aku mencoba membantah dengan bahasa batinku. Namun aku tiba lemah ketika mantra andalanku “selalu tanda tanya, tidak pernah tanda seru” takluk pada mantra mereka “selalu koma, tidak pernah titik” tidak tidak mampu berbuat banyak. Dan...
Aku sadar tubuhku sudah terbelah empat. Plesetku, untuk tempat kesatu, satu belahan dan tiga belahan untuk tempat ketiga. Benarkah?
Gelombang laut nan besar membentuk tiga gundukan yang beranak-pinak menjadi sembilan dan satu gundukan besar yang beranak tiga; menimbulkan suara yang khas. Untuk semuanya, ma’afkan ku. “Akh! Siapa yang telah mengajariku nakal?" suara terakhirku. Dan gelap!
Mulya Nusantara, Kamal, 2007
Info Gaul Cong!
Salju, Fenomena Alam yang Menakjubkan : Cintaku Sehangat Salju
Arif Rifqi dan Febdian Rusydi (Rijksuniversiteit Groningen)
SAAT ini di Eropa dan wilayah utara bumi tengah musim dingin.Salah satu fenomena menarik saat musim dingin adalah salju. Menjadi unik karena kristal-kristal es yang lembut dan putih seperti kapas ini hanya hadir secara alami di negeri empat musim atau di tempat-tempat yang sangat tinggi seperti puncak gunung Jayawijaya di Papua. Kenapa salju secara alami tidak bisa hadir di wilayah tropis seperti negeri kita?
Proses pembentukan salju
Untuk menjawab itu, bisa kita mulai dari proses terjadinya salju. Berawal dari uap air yang berkumpul di atmosfer Bumi, kumpulan uap air mendingin sampai pada titik kondensasi (yaitu temperatur di mana gas berubah bentuk menjadi cair atau padat), kemudian menggumpal membentuk awan. Pada saat awal pembentukan awan, massanya jauh lebih kecil daripada massa udara sehingga awan tersebut mengapung di udara – persis seperti kayu balok yang mengapung di atas permukaan air. Namun, setelah kumpulan uap terus bertambah dan bergabung ke dalam awan tersebut, massanya juga bertambah, sehingga pada suatu ketika udara tidak sanggup lagi menahannya. Awan tersebut pecah dan partikel air pun jatuh ke Bumi.
Partikel air yang jatuh itu adalah air murni (belum terkotori oleh partikel lain). Air murni tidak langsung membeku pada temperatur 0 derajat Celcius, karena pada suhu tersebut terjadi perubahan fase dari cair ke padat. Untuk membuat air murni beku dibutuhkan temperatur lebih rendah daripada 0 derajat Celcius. Ini juga terjadi saat kita menjerang air, air menguap kalau temperaturnya di atas 100 derajat Celcius karena pada 100 derajat Celcius adalah perubahan fase dari cair ke uap. Untuk mempercepat perubahan fase sebuah zat, biasanya ditambahkan zat-zat khusus, misalnya garam dipakai untuk mempercepat fase pencairan es ke air.
Biasanya temperatur udara tepat di bawah awan adalah di bawah 0 derajat Celcius (temperatur udara tergantung pada ketinggiannya di atas permukaan air laut). Tapi, temperatur yang rendah saja belum cukup untuk menciptakan salju. Saat partikel-partikel air murni tersebut bersentuhan dengan udara, maka air murni tersebut terkotori oleh partikel-partikel lain. Ada partikel-partikel tertentu yang berfungsi mempercepat fase pembekuan, sehingga air murni dengan cepat menjadi kristal-kristal es.
Partikel-partikel pengotor yang terlibat dalam proses ini disebut nukleator, selain berfungsi sebagai pemercepat fase pembekuan, juga perekat antaruap air. Sehingga partikel air (yang tidak murni lagi) bergabung bersama dengan partikel air lainnya membentuk kristal lebih besar.
Jika temperatur udara tidak sampai melelehkan kristal es tersebut, kristal-kristal es jatuh ke tanah. Dan inilah salju! Jika tidak, kristal es tersebut meleleh dan sampai ke tanah dalam bentuk hujan air.
Pada banyak kasus di dunia ini, proses turunnya hujan selalu dimulai dengan salju beberapa saat dia jatuh dari awan, tapi kemudian mencair saat melintasi udara yang panas. Kadang kala, jika temperatur sangat rendah, kristal-kristal es itu bisa membentuk bola-bola es kecil dan terjadilah hujan es. Kota Bandung termasuk yang relatif sering mengalami hujan es. Jadi, ini sebabnya kenapa salju sangat susah turun secara alami di daerah tropik yang memiliki temperatur udara relatif tinggi dibanding wilayah yang sedang mengalami musim dingin.
Struktur unik salju
Kristal salju memiliki struktur unik, tidak ada kristal salju yang memiliki bentuk yang sama di dunia ini (lihat Gambar SnowflakesWilsonBentley.jpg) – ini seperti sidik jari kita. Bayangkan, salju sudah turun semenjak bumi tercipta hingga sekarang, dan tidak satu pun salju yang memiliki bentuk struktur kristal yang sama!
Keunikan salju yang lainnya adalah warnanya yang putih. Kalau turun salju lebat, hamparan bumi menjadi putih, bersih, dan seakan-akan bercahaya. Ini disebabkan struktur kristal salju memungkinkan salju untuk memantulkan semua warna ke semua arah dalam jumlah yang sama, maka muncullah warna putih. Fenomena yang sama juga bisa kita dapati saat melihat pasir putih, bongkahan garam, bongkahan gula, kabut, awan, dan cat putih.
Selain itu, turunnya salju memberikan kehangatan. Ini bisa dipahami dari konsep temperatur efektif. Temperatur efektif adalah temperatur yang dirasakan oleh kulit kita, dipengaruhi oleh tiga besaran fisis: temperatur terukur (oleh termometer), kecepatan pergerakan udara, dan kelembapan udara. Temperatur efektif biasanya dipakai untuk menentukan “zona nyaman”. Di pantai, temperatur terukur bisa tinggi, namun karena angin kencang kita masih merasa nyaman. Pada saat salju turun lebat, kelembapan udara naik dan ini memengaruhi temperatur efektif sehingga pada satu kondisi kita merasa hangat.
Jadi, Anda bisa mengirim ungkapan romantis kepada teman Anda, “cintaku sehangat salju”. Kalau dia tidak paham, kesempatan untuk Anda menjelaskan fenomena ini. Fisika pun bisa menjadi senjata yang andal bagi mereka yang sedang pedekate.***
Gambar: Contoh-contoh bentuk kristal salju yang diambil oleh Wilson Bentley pada tahun 1902.
Gambar diambil dari situs wikipedia.org. Sumber Rujukan : Pikiran Rakyat (28 Desember 2006)
Rifqi Place
Monday, April 30, 2007
Di balik Buku Science Fiction
Buku Dan Teknologi (Masa Depan)
Oleh : Moh. Arif Rifqi
Jika ada pertanyaan kira-kira apa kaitannya antara buku dan teknologi? Jawabnya, wah! Banyak sekali. Seiring perkembangan teknologi , kita dapat meperoleh informasi tetang buku-buku up to date melalui internet; buku dapat dicetak dengan lebih menarik, lebih bagus dan lebih berkualitas; buku tidak lagi hanya berupa kertas-kertas yang tersusun rapi, tapi juga ada buku elektronik, and so on.
Seiring juga diterbitkannya buku-buku “berteknologi” atau lebih dikenal dengan istilah buku futurologi. Buku-buku semacam ini seringkali membahas tentang prediksi masa depan dengan perkembangan-perkembangan teknologinya disertai efek-efek dalam bentik karya ilmiah. Sehingga, kadangkala timbul pertanyaan bagaimana mungkin sebuah prediksi disajikan secara ilmiah? Tetapi, sebenarnya tujuan mereka menulis buku futurologi adalah untuk menggambarkan masa depan dengan prediksi-prediksi yang berdasar pada probablitas teoritis mutakhir. Seperti yang di tuurkan Susan Grenfield pada buku futurologinya Tomorrow’s People. Di sisi lain, tampaknya penulsan dalam bentuk karya ilmiah kurang begitu mudah tersosisalisir. Karena bahsanya kadangkali sulit dipahami.
Tidak kalah saing, dari genre fiksi sains, sejak beberapa tahun yang lalu mulai bermunculan dan menarik banyak perhatian bagi penggemar buku—utamnya fiksi. Seperti, novel Lelaki di Titik Nol-nya Mustafa Mahmud, Area X-nya Eliza F. Hndayani, Supernova series-nya Dewi Lestari berusaha menyuguhkan hal sama dengan cara berbeda-beda.
Mustafa Mahmud menyuguhkan adanya atom cinta yang ternyata tidak bisa diteliti dan dibuktikan di laboratorium, sekalipun dengan mikroskop elektreon termutakhir sekalipun. Melainkan harus dipraktekkan langsung dalam laboratorium rumah tangga. Juga, Taufiq Isma’il dalam panegantar novel Area X menulis “dimensi avontuer mereka (tokoh-tokoh dan alur pada novel tersebut; pen.) mencakup ruang angkasa raya, dengan galksi-galaksi serta benda-benda angkasanya, meliputi masalah gawat sumber energi, kebergantungan pada teknologi, sedemikian rupa sehingga tak lagi menyadari (bahwa) Energi terbesar terkubur dalam jiwa manusia”. Sementara, Dewi Lestari menyguhkan realitas sosial melalui sinkronisasi antara teknoleogi dan dunia metafisis. Hal ini sangat namapak pada novel Supernova seri Petir dengan penonjolan nasib sosok Etra (Elektra), gadis cina yang khawatir terhadap penyakit epilepsi.
Kehadira genre fiksi sains secara tidak langsung mempunyai titik penting sebagai salah satu media penyuluhan tetang kesadaran berteknologi yang lebih baik, dan media penyadaran kembali terhadap kesadaran –“lebih” terhadap adanya nilai-nilai kemanusiaan yang harus lebuh diperhatikan dan dipertahankan, dari pada gila atau malah latah pada perkembangan teknologi.
Karena disamping sebagai karya sastra pinter dan cerdas, intrikasi teks dan isi yang semula menjadi polemik pada pencernaan buku-buku futurologi ilmiah, bukan lagi polemik pada buku-buku fiksi sains yang sangat berpeluang besar untuk dipahami sekaligus dinikmati pembaca.
Akan tetapi, keberadaan mereka, kadangkala justru disikapi dan dianggap sebagai buku buah kahyalan belaka dan tidaka akan mungkin terjadi. Malah justru, signifikansi mereka sangat besar. Yaitu sebagai media reformulasi prospek dan pola pandang (view style) yang optimis, juga sebagai preparasi terhadap arus perkembangan teknologi yang akan semakin deras.
Kehadiran genre fiksi sains menjadi lebih penting lagi bagi bangsa Indonesia, pecinta dan pemerhati buku, remaja, dan semua kalangan untuk mememandang dunia kini dan masa depan melalui narasi pintar dan cerdas. Bukan justru menganggapnya sebagi khayalan disiang bolong. Robbana ma khalaqta hadza batila. Wallahu’alam
Monday, April 23, 2007
Cerpen
tulisan ini pernah dimuat di Radar Madura Minggu ke-2 Bulan Februari 2007
Cerita Bangku
Oleh: Moh. Arif Rifqi*
Siapa bilang sekolah itu adalah satu-satunya media pendidikan. Aku rasa sekolah hanya satu dari seribu cara mencari dan menemukan secuil hakikat hidup, itu pun kalau berhasil. Yah, walaupun sebenarnya itu tak akan mampu kuraih hakikat finalnya. Tapi aku yakin ia ada. Karena aku selalu merasakannya. Ia ada diantara ada dan tiada. Jujur, aku merasakannya pada indra yang tak pernah kumiliki sebelumnya.
Ayahku kemarin memperparah memar di betisku. Seperti biasa, duduk santai di tepi sungai Kalimas sambil membaca buku—kebetulan judulnya The Davinci Code yang rada tebal—pada jam sekolah. Air terjun nan deras, sejuknya hawa pagi, sesejuk hatiku mengikuti petualangan hidup sang maestro, sangat kusayangkan, ketika harus tertukar paksa dengan ambisi dan marah Ayah.
Plas!
“Buat apa kamu disini! Sekarang kan jam sekolah, sekolah itu penting, dari pada kamu duduk santai di tempat ini. Ingat! Ijazah SMA yang akan kamu peroleh tiga bulan lagi akan sangat menentukan jenis pekerjaan apa yang akan kamu peroleh. Kamu harus fokus kesana” begitulah kalau Ayah sedang berceramah, sok pedadog.
“Leh! Kata Ustadz di surau, kita sekolah tidak boleh untuk cari ijazah palagi pekerjaan? Baru tadi malam kan beliau bertutur demikan?”balasku.
Ayah tak lagi banyak bicara. Ia menyeretku dangan seperti kambing mangkel. Itu artinya aku tidak boleh bicara lagi. Cukup satu pukulan. Untung saja aku bisa secepat kilat membereskan buku-bukuku yang semula berserakan di tepi sungai. Kata guru PPKNku ini termasuk hal yang sadis. Tetapi, aku selalu menggap hal ini biasa. Termasuk waktu itu. Yah biasa!
Pemberontakan semacam itu terlalu sering kulakukan. Dua bulan yang lalu, masih segar dipikiranku, aku mempermalukan guru PPKN di kelas karena perbedaan pendapat yang kecil yang dibesar-besarkan oleh mereka, dan besar tapi di sepele bagiku. Bisa kalian bilang aku iseng-iseng menggugat penggunaan sitem pemerintah demokrasi di Indonesia pasca reformasi.
“Kamu ini bagaimana sih? Sebagai rakyat Indonesia kamu menolak penggunaan sistem demokrasi yang telah jelas-jelas akan membawa kemajuan bagi bangsa yang menganutnya, seperti Amerika Serikat dan negara-negara maju lannya. Kekuatan apa yang kamu punya sehingga mau menggoyang establisment demokrasi di Indonesia? Kalau kamu ketahuan polisi, kamu bisa ditangkap!” Guruku agak marah.
“Terima kasih ‘Pak atas informasi dan pertanyaannya. Semestinya Bapak bisa merenungi jawaban saya yang barangkali tidak bisa membuat bapak puas. Memang benar kalau sistem pemerintahan demokrasi itu sangat baik dan akan membawa sebuah negara yang menganutnya pada bangsa yang gemah ripah lokh jenawi, taremtem kerto raharjo.
“Akan tetapi ada hal kecil yang selalu diabaikan oleh para aktor di tingkat atas, terkait dengan disintegralisasi antara kualitas pemahaman makna demokrasi golongan atas dengan golongan bawah. Sehingga aplikasi sistem perintahan di indonesia sama sekali tidak harmonis. Menyinggung pepatah Barat yang mengatakan ‘Corruptio optimi de pessima’, kesalahan kecil dari yang terbaik adalah kesalahan yang sangat besar.
“Sistem yang Kenedey sebut sebagi ‘from the people, by the people, for the people’ ini belum siap diaplikasikan di Indonesia. Kalau dipaksa-paksakan hasilnya seperti kasus-kasus yang sangat memalukan Indonesia saat ini. Dan saya pikir itu disebabkan oleh ketidak-bhinneka tunggal ika-an mental yang dimiliki oleh sebagian elemen penting bangsa Indonesia. Salah satu contohnya, pada pemilu kemarin, rakyat kecil beralasan memilih pasangan presiden berdasarkan kecakepan, pangkat, keturunan dan hal-hal lain yang sangat ompong untuk dijadikan alasan. Demokrasi tanpa rakyat yang berwawasan dan bermental bagus adalah non sense!” aku berusaha mengucapkannya secepat mungkin
Guruku terdiam, dengan muka merah padam dan bibir yang kaku dia bertutur sekeras mungkin “Ku..kurang ajar kamu! Berani-beraninya membantah Guru…”
“Tidak ‘Pak, saya tidak bermaksud membantah Bapak, saya hanya…”saya coba untuk berapologi, tapi…
“Sudah-sudah! Jangan banyak omong. Kamu ini siswa kurang ajar. Rakyat tak bermoral, tidak cinta tanah air. Sebagai hukuman terhadap sikapmu kali ini, kamu harus buat makalah 300 lembar, kertas folio, spasi satu, dengan tema ‘pentingnya sistem demokrasi di Indonesia’ minggu depan disetor. Selama kamu belum menyelesaikannya, kamu tidak boleh masuk jam saya”
“Ma’af ‘Pak, ada yang perlu saya luruskan, Bapak jangan terburu-buru mengambil kess…”
“Diam! Keluar kamu sekarang”
Baru berapa menit aku masuk kelas, sudah diusir. Ah! Ini biasa. Sepintas aku teringat tulisannya Muhidin M Dahlan dalam bukunya Kabar Buruk dari Langit “Tak ada manusia yang paling kutakutkan, selain mereka yang merengguk kebenaran dengan tergesa-gesa. Kebenaran yang tidak ditimbang-timbang. Kebenaran beku. Kebenaran yang rindu bentuk, rindu rupa dan itu sangat mengerikan. Aku takut dengan itu” aku juga ngeri, ih! Tapi, anggaplah biasa.
***
O, cahaya
Nafasmu lebih embun dari pagi
Dan senyummu lebih purnama dari sya’ban
Detak jantungku melankolis, bersetubuh dengan rintik-rintik hujan di sore buta. Aku duduk, menatap dan merenungi hikmah penciptaan pohon jambu mente di halaman depan rumahku. Ditemani secangkir teh, dan sebuah novel yang belum selesai kubaca. Juga, kejadian-kejadian sejak kemarin aku kaji ulang. Barangkali aku salah atau bagimana, aku sama sekali tidak menutup kemungkinan. O, tidak! Ada yang harus lebih kuperhatikan dari pada hal-hal tersebut. Realitas pendidikan di desaku. Masa’, ada tiga lembaga pendidikan di dua desa yang letaknya berdekatan satu sama lain? Bukankah keberadaan mereka perlu dipertanyakan? Atau mereka ingin memanfaatkan lembaga pendidikan sekaligus sebagai perusahaan—perusahaan MI misalnya—berhubung adanya kepedulian pemerintah setempat yang terwujud pada BOS, BKG atau bahkan BKM? Semoga saja tidak. Amien
“Assalamu’aliakum” sosok berjas hitam, lengkap dengan piama abu-abu, dasi mentereng, celana dan sepatu hitam sambil menenteng tas coklat, menyapaku sore itu.
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarkatuh, eh Bapak Kepala Sekolah, silakan masuk, silakan duduk, ma’af tempatnya agak kotor” ujarku.
“Terima kasih” Balasnya
“Tumben Bapak sudi datang kesini. Ada angin apa ya?”
“Ayah kamu mana?”
“Belum pulang, sejak tadi pagi, pamitnya mau pergi ke kota, katanya tidak akan lama”
“O, ya! Begini ‘Gus, kemarin Bapak Joko cerita tentang percekcokan kalian. Ya! Itu bagus, tapi itu salah tempat”
“Maksud Bapak?”aku semakin mengerutkan dahiku
“Kamu itu benar, bahwa kamu belajar kritis kepada ilmu yang kamu terima, juga kepada Gurumu. Tetapi cara dan waktunya tidak sebagimana baiknya. Itu sama sekali tidak sesuai dengan tatakrama yang baik antara murid dengan Guru. Kamu tahu, setelah kejadian itu ‘Pak Joko berhenti mengajar dari sekolah kita. Dia cerita semuanya padaku sebelum dia pamit secara baik-baik dirumahku kemarin. Tentu, satu lagi korban kekritisanmu yang tidak kamu pelihara dengan baik itu. Satu materi lagi tidak ada yang pegang. Sekolah kita sudah ompong. Kamu harus tahu itu!”dia mencoba berbicara tenang, walaupun sorot matanya sangat menampakkan kemarahan yang mungkin akan meledak sebentar lagi. Dan aku ingin membuktikannya…
“Leh! Mengapa Bapak dulunya mau menjadi kepala sekolah? Bapak tahu sendiri, sekolah kita adalah salah satu sekolah yang didiriakan oleh Juragan Munir dalam satu desa dan desa tetangga yang letaknya cukup berdekatan. Sementara di desa kita sangat sulit mencari tenaga pengajar. Aneh kan, kalau samapai ada sekolah yang berdekatan dan dirintis oleh satu orang dalam jangka waktu yang cukup berdekatan? Untung saya mau sekolah di lembaga yang Bapak pimpin”
“Kamu berani bicara seperti itu murid murtad?” terbukti!
“Ya, itu hak saya”
Tanpa banya bicara dengan raut wajah merah padam berlawanan dengan dinginya angin dan hawa hujan, Bapak kepala sekolah bergegas meninggalkan rumahku dengan terburu-buru. Barangkali muak dengan keberadaanku. Semoga saja dia tidak terpelset di halaman rumahku. Tapi, waktu itu do’aku tidak terkabulkan. Selang waktu kemudian dengan perasaan marah, kesal yang semakin berlipat-lipat dan barangkali dengan bokong yang rada sakit sosoknya lenyap ditelan jarak.
Jujur, aku berani bilang hal yang semacam itu, karena aku curiga sejak pak Andi jadi kepal sekolah, kendaraannya yang semula sepede engkol berubah drastis ke Kawasaki Ninja. su’udzan yang lama ditahan muncul dan muncrat meruntuhkan sebuah tatanan mapan. Eksplosiv!.
Akan tetapi, tampaknya aku agak menyesal. Tidak menutup kemungkinan hubunganku dengan anaknya, Ririn, akan tersendat caused by my explosivity. Semoga saja tidak. Amien.
***
Setengah bulan kemudian, sekolah-sekolah yang didirikan Juragan Munir gulung tikar. Katanya sih tidak ada lagi yang mau sekolah ke sekolah-sekolah tersebut. Katanya juga, tersebarnya percekcokanku dengan guru-guru yang lain ke berbagi lapisan masyarkat telah merubah cara pandang mereka terhadap lembaga-lembaga pendidikan buatan Juragan Munir. Dia kehilangan kepercayaan di mata masyarakat.
Sebenarnya sejak kemarin aku sudah melupakan pemberontakan-pemberontakanku itu. Aku tidak mau lagi waktuku hanya tersita untuk mengurusi hal semacam itu. Masih banyak buku yang harus aku baca, masih banyak misteri yang harus kukuak, dan masih banyak kambing yang harus ku kasih makan di kandang.
Memberontak? Ya! Itu sudah fitrahku. Fitrah sebagai manusia yang lahir karena memberontak dari perut ibu. Fitrah sebagi manusia yang tetap bertahan hidup dengan memberontak kepada kematian—walaupun suatu saat nanti aku pasti kalah. Bukankah kita terjajah oleh manifesto Barat karena pemberontakan kita tanggung-tanggung, wuduna ka’adamina. Sekali berontak jangan tanggung-tanggung. Tetapi, mengenai hal itu…anggaplah biasa—walaupun kenyataannya tidak.
***
Hujan sudah reda.
Sore yang hampir mati, tampak Ayah dan Ririn melangkah tidak seperti biasanya. Langakah yang semakin cepat dengan peluh becucuran dari kening mereka. mereka menghampiriku.
“Pergi kamu dari desa ini sekarang!” dadaku seperti terhantam kayu besar. Ayah marah lagi. Tapi tak seperti biasanya.
Dengan mencoba mengelus dada, aku bertanya “Ada apa ‘Yah, Rin?”
“Sudah jangan banyak omong, kemasi buku-buku sialanmu itu, baju-bajumu dan lekas pergi dari sini. Sebentar lagi mereka akan kesini untuk membunuhmu” ujar Ririn yang semula tampak manis, kini rautnya agak merah manyala.
Dari jauh aku merasakan ada hiruk pirik sepeda motor yang menuju rumahku. Ada apa?
“Sekarang bukan waktunya kamu kritis, cepat kamu pergi atau nanti Bapak akan melemparkanmu dengan paksa” Ayah lagi.
“Tidak ‘Yah, aku benar-benar tidak mengerti”
“Anak bandel! Simapan pertanyaanmu dan lekas ambil buku dan bajumu, kemudian pergi dari sini. Cepat!”ayah merangkul-kekar tubuh kurus-kerempengku dan melemparkan aku ke depan pintu kamarku.
“Baiklah, kalau seperti itu, aku mau diatur kali ini saja. Aku akan pergi dengan kepenasaranku. Tapi…”
“Cepat!” Ayah kembali memotong pembicaraanku, aku paling tidak suka ini. Secepat mungkin aku pergi. Tapi sebelum aku pergi, aku masih menyempatkan diri mencium foto mendiang Ibuku yang tersenyum ramah. “Ma’afkan aku Ibu”. Aku pergi tanpa cerita lagi. Aku pergi karena aku marah terhadap pertanyaan “Ada apa sebenarnya?” yang tidak dijawab dengan alasan yang sama sekali tidak jelas. Marahku semerah api yang membakar rumahku setelah aku tinggalkan beberapa waktu kemudian—aku melihatnya dari jauh. Aku tidak tahu nasib Ayah, potret Ibu dan Ririn. Aku tidak mau tahu. Anggaplah biasa!
***
“Kemarin, kaum dekonstruksionis mendapat serangan mati-matian dengan pertanyaan tajam. Seperti ‘mengapa anda itu hanya bisa memberontak, merombak tanpa memberi tatanan yang lebih baik kedepan?’”
“O, ya! Aku juga dengar, tapi itu kan sebatas wacana?”
“Bukan, itu tidak hanya sebatas wacana, ada efek sosial dan individunya lho!”
“Tapi, menjadi dekontruksionis itu seru kan?”
“Iya sih, seperti cerita anak dekonstruksionis yang diusir dari desanya, rumahnya dibakar habis, Ayahnya dibunuh sadis oleh Juragan Munir dan para algojonya”
“Ha…Ha…”
Omelan mahasiswa kampungan itu mengganggu tidurku saja. Apa tidak ada tempat lain untuk berdebat?. Dengan sisa tenaga hasil dari mencuri nasi tadi aku lemparkan botol teh botol sosro kosong ke arah mereka dan pecah tepat di serambi toko tempat mereka ngobrol.
“Pergi juga kalian”hatiku bertutur.
Dekonstruksi? Apaan sih. Nyopet lagi ah!
Candi, 25 Desember 2006
Sunday, April 15, 2007
Gambar Resensi Buku Dzikir-Dzikir Cinta
Sapa Sudra
Sebuah dunia dimana para netter hidup tanpa nafas, makanan, dan amarah.
Sebuah dunia dimana gap-gap sirna dan menjelma menjadi kebersamamaan yang tulus
Sebuah dunia dimana eksistensi tidak lagi malu pada esensi
Sebuah dunia dimana kedamaian dan persaingan menjadi jamu yang menyehatkan
Sebuah dunia dimana kasih sayang akan lebur menjadi materi metafisis
Sebuah dunia dimana aku ada dan benar-benar ada dalam ketiadaan mereka yang mengaggap aku tidak ada
Selamat datang di duniaku
Di sini kamu, kalian dan kita akan mengarungi sebuah penyempitan ruang dan waktu
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Aku “menantangmu” disini !
Sebuah dunia dimana gap-gap sirna dan menjelma menjadi kebersamamaan yang tulus
Sebuah dunia dimana eksistensi tidak lagi malu pada esensi
Sebuah dunia dimana kedamaian dan persaingan menjadi jamu yang menyehatkan
Sebuah dunia dimana kasih sayang akan lebur menjadi materi metafisis
Sebuah dunia dimana aku ada dan benar-benar ada dalam ketiadaan mereka yang mengaggap aku tidak ada
Selamat datang di duniaku
Di sini kamu, kalian dan kita akan mengarungi sebuah penyempitan ruang dan waktu
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Aku “menantangmu” disini !
Monday, April 9, 2007
Random Culture
Anugerah Berbudi-daya
Oleh : Moh. Arif Rifqi*
Eksistensi sebuah kebudayaan sebagai cipta rasa dan karsa manusia, pada masa kuno dianggap sebagai sesuatu yang “keramat”. Sehingga wajar apabila antusiasme masyarakat kuno terhadap budaya, terlebih budaya mereka sendiri, mampu melahirkan seperangkat aturan yang diparipurniai dengan lahirnya agama ardhi seperti, dinamisme, dan animisme. Disamping itu pula, sikap itu secara tidak sadar dapat menimbulkan chauvisme kulturalis pada intern minoritas-minoritas yang kuat dan fanatis. Maka, tak ayal apabila sensitifitas-emosional mereka berdampak pada kerawanan konflik yang berujung pada subjugasi-subjugasi pihak lemah (inferior culture) dalam upaya proses konstruksi tatanan yang lebih besar. Kita lebih mengenalnya dengan istilah kerajaan.Dengan mendarah-dagingnya eksistensi dan esensi budaya pada individu maupun kelompok pada masa kuno, mereka malakukan eternalisasi yang berejawantah pada manuskripisasi, pembangunan candi-candi, dan aneka prasasti yang kelak mereka yakini akan berguna bagi generasi selanjutnya; dan itupun terbukti. Akan tetapi, lain halnya dengan kondisi pembudayaan “seperangkat budaya” pada masa kini. Arus transformasi ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi yang serba liberal sedikit demi sedikit telah merubah pola akulturasi yang semula ramah masyarakat menjadi liar. Bahkan ada klaim upaya yang terkesan kapitalis. Kebudayaan yang lebih megah, lebih meriah akan lebih mudah mengakulturasi pada kebudayaan lain yang relatif sangat sederhana, dengan melalui banyak sisi.Eksistensi kebudayaan pada masa kini, tampak tidak lebih dari sebongkah emas yang akan semakin mengkilap kalau dibangga-banggakan—padahal pemelihraan yang lebih intesif dari waktu ke waktu laebih dibutuhkan. Sehingga, wajar apabila eksistensinya kurang (ter)-sadari dengan baik. Bahkan, tidak sama sekali. Hal itu bisa daipandang wajar apabila kompleksitas problematika kehidupan dan aneka tantangan lebih, menjadi pusat perhatian yang mereka rasakan. Ironisnya, mereka justeru berkamuflase dengan berbagai alasan-alasan yang mereka anggap “up to date”. Sehingga ini menjadi salah satu faktor dalam yang sangat berpengaruh pada marginalisasi kelompok lain.Sementara itu, kebudayaan sebagai manifestasi utama cipta rasa dan karsa manusia, tidak terbatas pada satu sisi saja. Secara otomatis, kualitas kebudayaan disamping sebagai self identyty atau self basic-characteristic suatu kelompok untuk diperhitungkan eksistensinya, juga sebagai inventaris dari barometer progresifitas kelompok (daerah atau negara).Dengan demikian, tak dapat dipungkiri lagi, bahwa kebudayaan lebih tandensif pada anugerah dan nikmat yang harus disyukuri dengan memelihra, dan mengembangkannya dengan baik; kualitas kebudayaan sangat berkaitan-erat dengan kasadaran akan nilai pluralitas dan privacy-nya. Pada konteks tersebut, remaja sangat berperan penting, terkait dengan kondisi metal yang sangat potensial namun juga rawan. Oleh karena itu, “relokasi” nurani sebagai pusat kontrol segala aktifitas dan diiringi dengan optimalisasi peran otak (berpikir sekaligus merenung), akan melahirkan proses yang terus berlanjut.
Sunday, April 8, 2007
Sajak malangkabut dan Resensi
Encode
Sebuah intrikasi
Memanggilku; menekuk lutut pada sosok hawa
Mengarungi kepekatan-kepekatan dan encer-encer
O! engkau yang menabuh genderang dilubukku
Melebur lumbung-lumbung suci tempat aku tengadah
Membawaku bersua dengan gajah-gajah, harimau, bahkan singa
Waluapun setiap lekukmu adalah madu
Apakah aku sudah…?
Melawan dan melewati pagar batas kuasa diri
Sebagai fitrah
Ketundukan-ketundukan bertanduk; ganas
Mendecode ke-adaman
Bukan keangkuhan
Padahal aku tidak berani beucap tulus
Aku serius atau tidak
Akan tetapi, aku akan
Selalu berusaha hijau dimatamu
Dan entah!
Apa nanti akan melebur menjadi merah jambu
Wahai …
Menunggulah sampai kesabran terakhirku
Takluk pada
keperempuananmu
Guluk-Guluk, 18 Januari 2007
Sebuah intrikasi
Memanggilku; menekuk lutut pada sosok hawa
Mengarungi kepekatan-kepekatan dan encer-encer
O! engkau yang menabuh genderang dilubukku
Melebur lumbung-lumbung suci tempat aku tengadah
Membawaku bersua dengan gajah-gajah, harimau, bahkan singa
Waluapun setiap lekukmu adalah madu
Apakah aku sudah…?
Melawan dan melewati pagar batas kuasa diri
Sebagai fitrah
Ketundukan-ketundukan bertanduk; ganas
Mendecode ke-adaman
Bukan keangkuhan
Padahal aku tidak berani beucap tulus
Aku serius atau tidak
Akan tetapi, aku akan
Selalu berusaha hijau dimatamu
Dan entah!
Apa nanti akan melebur menjadi merah jambu
Wahai …
Menunggulah sampai kesabran terakhirku
Takluk pada
keperempuananmu
Guluk-Guluk, 18 Januari 2007
Resensiq
Judul Buku : Dzikir-Dzikir Cinta
Penulis : Anam Khoirul Anam
Penerbit : Diva Press
Tebal : 329 Halaman
Cetakan : Pertama, September 2006
Peresensi : Mohammad Arif Rifqi*
Diantara sisi gelap dan sisi terang, ada sisi biru yang menyertainya (hal. 8)
Khazanah kehidupan dunia pesantren bak khazana cinta; semakin dalam dikuak semakin menarik. Keunikan-keunikan pesantren tidak lepas dari adanya "orisinalitas konsepsi" dalam pembentukan mental dan intelektual santri yang sesuai dengan ajaran islam. Tentunya dengan seperangkat undang-undang otonomis yang mengikat, pesantren menjadi wadah yang telah dan tengah melahirkan intelektual-intelektual mampuni. Menariknya lagi, ada konsep barokah yang menjadi pokok mata pencaharian santri.
Barokah tampak sebagai otority sources pada peran penting kesuksesan santri. Banyak riwayat tentang kekeramatan barokah. Seperti sosok santri cerdas, pintar, adil selama ada di pesantren tiba-tiba malah menjadi bromocorah di masyarakat. Singkat kata, ada sebuah kesalahan yang membuatnya tidak mendapatkan barokah. Sehingga, kepatuhan dan penghormatan santri terhadap Kiai sangat kental dan penuh dengan pengharapan barokah.Bagaimana jika kemudian barokah bermasalah dengan cinta?Cinta datang tidak mengenal tempat, tidak juga pesantren. Melalui novel segar buah karya salah satu santri Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy'ari ini menyuguhkan realitas tersembunyi tentang romantisme pesantren dengan berani; kisah cinta di pesantren yang sangat ditabukan terwujud dan terjalin romantis dan eksplosif. Sebuah kisah haru yang dimulai dengan petualangan penuh perjuangan seorang santri bernama Rusli yang dipercayai sebagai abdi dalem di sebuah pesantren yang diasuh oleh Kiai Mahfud. Rusli jatuh hati kepada salah satu santriwatinya Gus Mu'ali sahabat Kiai Mahfud, ketika dia mencoba untuk membuktikan keampuhan ilmu ngrogo sukmo untuk melakukan infiltrasi ke asrama putri di pesantrennya Gus Mu'ali. Dia berkali-kali datang walaupun pada mulanya dia hanya ingin melakukan "hubungan sukma" dengan salah satu santriwati yang bernama Sukma. Akan tetapi, usaha itu sia-sia, setelah Sukma lebih membiarkan hasrat cintanya terfokus kepada Tuhan dengan tahajjud, dan mengaji Al-Qur'an di tengah malam. Inilah yang membuat Rusli terpesona dan bahkan menangis meratapi kesalahan-kesalahannya semula.Lebih seru lagi ketika tiba-tiba Rusli mendapat kesempatan menjadi assisten guru ngaji di Pondok Putri yang diasuh Gus Mu'ali.
Singkatnya, dengan keberanian dan rasa cinta yang tulus Rusli an Sukma menjalin hubungan asmara secara sembunyi-sembunyi.Akan tetapi, di tengah-tengah romantisnya hubungan mereka, Fatimah, putri Kiai Mahfud menaruh hati kepada Rusli dengan mencoba jujur tentang perasaannya kepada ayahnya, setelah ditanya komentarnya terhadap lamaran Kiai Lathif. Akhirnya Rusli tidak dapat memilih lagi. Rusli terpaksa memilih hidup dengan Fatimah, dengan alasan dia takut kualat kena murka Kiai, nanti nggak dapat barokah!Novel ini mencoba menghadirkan realita cinta di pesantren dan releguitas yang tak kalah menarik.
Banyak pelarian pintas yang dilakukan oleh remaja ketika menghadapi masalah seperti yang dialami Sukma. Akan tetapi, sosok Sukma malah semakin dekat dengan sang Khaliq—walaupun tidak harus ketika putus cinta—ketika jiwanya tergoncang dan remuk oleh keputusan Rusli. Disini terletak makna cinta yang lebih dewasa dan lebih pantas disandang oleh seorang pecinta. Kalau kita lihat dalam realitas kehidupan remaja cinta dan nafsu acap kali kabur. Releguitas kisah mereka juga diiringi pengalaman-pengalaman teologis dan pendidikan mereka mulai sejak kecil hingga dewasa. Dan disitulah letak keunggulan novel ini dibandingkan dengan novel-novel sastra (pesantren) lainnya. Religuitas yang romantis berpadu menjadi "respon linguistik" yang tak terbahasakan.Alur yang eksplosif, narasi yang lugas, dan sistematika bahasa yang mudah dimengerti, menjadikan rangkaian hikmah yang bisa dipetik lebih menarik dan sangat layak dibaca oleh siapa saja. Karena novel ini selain menceritakan keunikan-keunikan pesantren juga terdapat wadah pengeksplorasian pesan-pesan religuis-romantis—yang acap kali dikaburkan dengan dalih cinta yang tersembunyi diantara nafsu dan syahwat belaka.
Dengan demikian, kompleksitas khazanah pesantren bukan hal tabu antara sorogan, kitab kuning, kisah biru dan serba kekakuan, tapi juga ada romantisme yang semula tersembunyi kini mulai muncul. Sumbangsih pesantren terhadap masyarakat, bangsa dan negara sangatlah besar. Termasuk juga jika anda "membaca novel ini".
Jangan tanyakan apa yang membuatmu begitu cantik. Namun, sekali-kali bertanyalah apa yang membuat kejelekanmu terlihat begitu indah(hal. 19).
Novel Filsafat
Mimpi-mimpi Nietzsche
Novel Surgana
Subscribe to:
Posts (Atom)